Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

TNI di Barak

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Tentara Nasional Indonesia (TNI) berulang tahun hari ini. Dalam perjalanan yang panjang itu kita tidak perlu sangsikan lagi darma bakti TNI bagi Ibu Pertiwi. TNI-lah yang mempertahankan  kemerdekaan. TNI pula yang menjaganya hingga sekarang.

Tentu tidak semua catatan sejarah yang digoreskan TNI kita itu manis. Lazimnya angkatan bersenjata di negara-negara lain, tidak bisa tidak TNI -pernah - terlibat juga dalam politik. Bukan model aristokrasi kerajaan purbakala memang. Saat di mana raja adalah jenderal dan perwiranya adalah para bangsawan. Tentara Indonesia lahir dari kaum "proletar", kaum bawah yang tak berpunya.

Dari dasar yang rendah itu jualah tentara kita bukan sekedar prajurit, melainkan juga pejuang. Mereka yang berperang bukan demi uang, prestise, apalagi pangkat. Tapi landasannya adalah mempertahankan harga diri sebuah bangsa. Harga diri yang hanya kematian atau merdeka saja pilihannya.

TNI - bersama rakyat - berhasil dalam tugasnya. Namun, sudahkah cukup sampai di situ? Tidak. Tentara sudah merasa berjasa. Mereka membutuhkan pengakuan sekedar untuk menjaga apa yang telah mereka perjuangan tersebut. Bahkan, tidak sekedar menjaga melainkan pula ikut serta dalam pembangunan.

Di sinilah awal mulanya tentara memasuki ranah politik. Mereka "gatal" untuk tidak berada dalam pemerintahan yang sejatinya hanya milik partai dan kaum professional. Tidak boleh pasif, jangan juga terlalu aktif. Jalan tengahlah yang harus diambil. Akhirnya, konsep yang digagas oleh alm AH Nasution itu menjadi panduan dalam apa yang disebut Dwifungsi TNI.

Sejak diucapkannya konsep jalan tengah itu - pada tahun 1958 - hingga 40 tahun kemudian tentara tidak pernah melepaskan karakternya. Terjun ke dalam politik praktis sembari tentu saja sebagai alat pertahanan. Tapi, apakah yang dihasilkan dari konsep "moderat" itu? Tentara tak lain hanyalah alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Sebuah model ala fasisme.

Mungkin saja banyak yang suka dengan peran tersebut. Negeri ini tak pernah bergolak serius. Hanya ada riak-riak kecil yang segera dapat dibereskan. Keamanan terjamin. Ekonomi bisa tumbuh. Ketentraman dari komunisme yang dianggap anti-Tuhan juga tak ada.

Tapi tentu saja itu semu. Segala kekangan justru hanya menimbulkan dendam yang bisa jadi bom waktu. Tidak ada kebebasan. Di istananya,  sang penguasa menikmati kekayaan rakyat bersama kroni-kroninya. Bom waktu sudah disiapkan dan saat meledak tinggal menunggu waktu. Hanya diperlukan penyulut saja.

Akhirnya penyulut bernama ‘krisis ekonomi' itu datang. Rakyat baru berontak ketika perutnya tidak punya jaminan terisi. Sang penguasa tumbang. Tentara dikambinghitamkan. Ada yang salah dari peran yang telah diambil oleh tentara. Sebagai salah satu agenda reformasi, TNI dikembalikan ke tabiatnya sebagai alat pertahanan. Selamat tinggal politik praktis!

Hingga akhirnya tahun 2004 barulah bisa terealisasi. Selama 6 tahun ini, tidak ada lagi kehadiran prajurit berbaju hijau di senayan. TNI sudah kembali ke baraknya. Meski sang presiden kita sekarang adalah juga mantan tentara, itu hanya sekedar bukti kemampuan politik sang jenderal yang juga reformator TNI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline