Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Jokowi dan Menteng-nya

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada akhir tahun lalu saya ke Jakarta naik kereta api ekonomi Matarmaja dari Malang. Seperti kita tahu, kursi penumpang kelas ekonomi berhadap-hadapan. Kebetulan di depan saya waktu itu duduk seorang pria paruh baya.

Timbul percakapan. Dia bertanya ke mana tujuan saya. Kebetulan waktu itu saya hendak ke suatu tempat yang berlokasi di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Karena saya malas menyebut tempat secara spesifik, maka saya jawab saja, "Menteng, Pak."

Sang bapak itu merespon: "Ke Menteng? Wah sampeyan kok nggak cocok ke sana." Maka dia bercerita mengenai temannya yang tinggal di kawasan tersebut beserta harga tanahnya yang mahal. Tentu saja saya heran karena Menteng itu luas, tidak hanya perumahan saja.

Mengapa dia berkata saya tak cocok ke Menteng? Alasannya ada pada penampilan. Waktu itu saya hanya memakai baju kaos yang saya beli 30 ribu di Ramayana. Tidak memakai sepatu melainkan sandal biasa.

Penampilan saya mungkin dilihatnya seperti orang kebanyakan. Dan orang seperti saya rasa-rasanya kurang pantas ke sana, punya saudara, apalagi tinggal di sana. Naik kereta ekonomi pula. Begitu mungkin yang ada di pikirannya.

Terus terang, saya tidak tahu, jika menggunakan cara berpikir sang bapak tersebut itu apakah Joko Widodo pantas juga tinggal di Menteng. Kita lihat di foto dan televisi, penampilan Gubernur Jakarta itu "seperti rakyat kebanyakan".

Dalam iklan dikatakan bahwa "Jokowi adalah kita", menandakan bahwa dia bukan bagian dari kelompok elit yang tinggal di kawasan elit pula. Pada masa kampanye, Jokowi juga mencitrakan diri sebagai sosok yang sederhana.

Dia makan di warung sederhana. Bajunya, sepatunya, dan celananya tak lebih dari 200 ribu. Saat deklarasi, dia juga naik sepeda---bukan kuda apalagi mobil mewah---ke Gedung Joeang 45 yang juga terletak di Menteng.

Menteng telah menjadi simbol kelas elit dalam masyarakat Jakarta dan Indonesia. Yang tinggal di sana pasti punya posisi dan uang. Jika seseorang merasa kaya dan mau dianggap, maka dia akan beli rumah di sana sebagai simbol status. Naiklah derajat yang bersangkutan.

Dalam kehidupan keagamaan begitu pula. Orang shalat di Masjid Cut Meutia berbeda rasanya dibandingkan dengan masjid di Manggarai. Gereja Batak, HKBP, punya sebuah gereja di Jalan Jambu, tempat orang Batak pejabat dan kaya beribadah, meski tempat tinggalnya bukan di kawasan tersebut.

Saya tidak tahu apakah Jokowi juga beranggapan demikian. Namun, sadar atau tidak, mantan Wali Kota Solo ini identik dengan Menteng. Apa saja?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline