Lihat ke Halaman Asli

Relativisme dan Pluralisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


  1. 1. RELATIVISME


Pernyataan tentang relativisme pertama kali muncul dari filosof sophis, Protagoras (490-420 BC) lima ratus tahun sebelum Masehi. Pernyataan Protagoras dikutip oleh Plato: “The way things appear to me, in that way they exist for me; and the way things appears to you, in that way they exist for you”(Theaetetus 152a).

Maksud kata-kata Protagoras demikian: sesuatu nampak di hadapanku dalam caranya yang khas, dan dalam cara yang khas itu pula sesuatu ada untukku; demikian juga apabila kamu berhadapan dengan sesuatu, sesuatu itu secara khas ada untukmu.

Kalimat Protagoras ini mengandaikan satu dua prinsip sederhana untuk mengertinya. Yaitu, prinsip yang pertama, setiap pengetahuan atau pengenalan (knowledge) selalu merupakan pengetahuan atau pengenalan akan sesuatu (thing). Prinsip kedua, setiap pengetahuan berasal dari pengamatan inderawi (as it appears to me). Pengetahuan saya mengenai langit, i.e., bahwa langit itu biru, memiliki introduksi instrumen inderawi saya (mata) yang menangkap penampakan langit sebagai demikian. Tetapi, harus diakui, ketika mata orang lain melihat langit berwarna putih abu-abu (as it appears to him/her), ia akan berkata bahwa langit tidak biru, melainkan abu-abu.

Tampaknya pemahaman filosof Protagoras ini sederhana. Tetapi, halnya akan menjadi masalah serius ketika berkaitan dengan ranah persoalan yang lebih luas. Mari kita memahami sedikit lebih dalam pernyataan Protagoras ini. Karena langit (thing) bisa biru atau abu-abu atau putih atau hitam atau juga tidak berwarna sekalipun, maka apa pun yang kita maksudkan untuk menjelaskan pengetahuan kita mengenai warna langit selalu benar tergantung dari mata yang menangkapnya. Konsekuensi runyamnya, tidak ada pengetahuan salah. Atau, malahan tidak ada pengetahuan apa-apa tentang langit. Ya … tidak ada pengetahuan salah, sebab apa pun yang kita katakan mengenai sesuatu (thing)memiliki relasi dengan indera yang menangkapnya (as it appears).

Inilah asal muasal relativisme. Istilah “relativisme” diambilkan dari bahasa Latin, relativus, yang artinya “menunjuk ke.” Setiap pengetahuan, menurut paham relativisme, selalu memiliki rujukan, referensi. Dengan demikian, setiap pengetahuan memiliki logika dan ranah kebenarannya sendiri bergantung kepada rujukannya.

Relativisme meniadakan kebenaran universal. Jika tidak ada pengetahuan yang salah, karena setiap pengetahuan memiliki rujukannya sendiri, maka juga tidak ada pengetahuan yang benar secara universal. Jika tidak ada pengetahuan yang benar secara universal, tidak perlu ada pendidikan, tidak perlu ada sekolah, tidak perlu ada seminar, tidak perlu ada pembelajaran, tidak perlu ada diskusi hukum-hukum, tidak perlu ada komunikasi (malahan). Sebab, semuanya benar belaka. Inilah konsekuensi paling telak dari relativisme protagorasian.

Kita tahu bahwa dalam hidup sehari-hari komunikasi berarti aktivitas mengkomunikasikan kebenaran. Kebenaran memiliki karakter komunikatif, performatif, promotif. Kebenaran itu komunikatif, itu sebabnya kita selalu haus dan rindu akan kebenaran. Kebenaran itu performatif, sebab kebenaran itu menampilkan diri, tidak menyembunyikan diri. Kebenaran itu promotif, karena itu kebenaran tidak bisa dibuntu, tidak bisa dicegah. Kebenaran itu malahan memikat, memukau, menarik kita untuk memeluknya.

Relativisme itu tidak plausible, menurut filosof Sokrates dan Plato, sebab meniadakan kodrat indah dari kebenaran itu sendiri. Jika pengetahuan apa saja dalam metodologi bagaimana pun selalu benar, seperti yang dideklarasikan oleh Protagoras, kita tidak pernah tertarik akan kebenaran pengetahuan itu sendiri.

Sejak dikenalkan terminologi “subjek” dan “objek”, relativisme diidentikkan dengan subjektivisme. Artinya, pengetahuan relatif adalah pengetahuan yang bergantung atau memiliki referensi (ataurelated to) subjek-nya.

Dalam filsafat ilmu pengetahuan (atau epistemologi), pengetahuan sesungguhnya merupakan relasi subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Contoh, dalam pengetahuan “langit itu biru”, produk kebenaran “biru” adalah hasil dari relasi aku sebagai subjek yang mengetahui dengan langit sebagai objek yang saya ketahui.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline