Lihat ke Halaman Asli

Cuek

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore tumpah. Para pekerja menghambur di jembatan penyeberangan sampai berdecit-decit. Wajah-wajah yang tadinya penat menanggung bosan belum sepenuhnya regang meski sudah dicoba untuk bersenda atau sekadar tegur-sapa, lebih-lebih mereka yang cuma memperhatikan arah jalan atau jam.

Dari pinggir koridor jembatan, diam-diam, sepasang mata bayi sibuk melihati orang lewat sampaipun lupa berkedip. Mata itu bening sekali---seperti sepatu yang baru saja siap disemir---melirik kiri-kanan secara teratur seperti kepala penonton pingpong. Mulutnya cuek saja ngemut-ngemut puting susu perempuan yang ketiduran di lantai koridor, bersender ke dinding pembatas jembatan.

Langkah-langkah berdecit terus pergi, ke tuju masing-masing.

Seekor lalat loncat dari jidat perempuat itu ke sendal karet sebelum akhirnya terbang zig-zag antar sela keramaian, menyusuri jejer mobil yang terpaksa mengarus pelan-pelan, lalu hilang di latar metropolitan. Langit mengilaukan jingga ke puncak gedung.

***

Malam telah mengancam horizon. Kedua tangan mungil itu mempererat pelukan pada emaknya, masih di lantai koridor, sembari terus ngemut-ngemut puting susu. Beberapa keping duit koin mendingin dalam kaleng roti.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline