Lihat ke Halaman Asli

Meteor

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bukan... bukan sekilat sinar lantas lenyap, tapi ekor meteor itu luncuran deras bintang-bintang kecil. Seperti kembang api yang dibawa berlari bocah tapi terangnya lebih berkilau. O iya, jika kau pernah baca komik-komik klasik dari eropa,  kukira lebih mirip semburan kembang api saat penyihir menyabet tongkatnya.

Malam itu langit bersih. Berbantal sebelah tangan, aku telentang di lapangan berumput dekat perbukitan, yang jika siang ditempati gembalaan kambing. Kureka-reka zodiak bintang: udara seakan kanvas dan telunjukku kuas. Mungkin kau akan tertawakan ini: kupikir bintang-bintang itu terusik, lantas salah satu dari mereka jadi meteor, meteor aneh yang kuceritakan tadi, jatuh pelan-pelan, ke arahku. Aku terduduk. Beberapa saat meteor itu mengambang di sampingku sebelum berubah jadi manusia, setampan lelaki yang tak pernah nyata kecuali dalam mimpi.

Aku heran, kenapa tidak berontak waktu malaikat itu menggendongku? (Kusebut saja malaikat sebab tampan sekali lagipula punggungnya bersayap). Mau kukatakan terhipnotis bukan juga, sebab masih bisa kurasakan malu ketika payudaraku menyentuh dadanya. Ia ketawa ramah. Pipiku merah.

Tak lama kemudian kami terbang. Tepatnya, ia menggendongku terbang. Di bawah, kulihat bumi telah sebesar bola kasti, biru seperti batu safir di tengah tumpukan berlian... galaksi. Belum kikis benar cemasku meskipun ia menenangkan: "nikmati saja, nanti subuh kukembalikan pulang."

Senyum itu berukir di kenangku. Pun semesta yang dicampung bola matanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline