Lihat ke Halaman Asli

Syamsiah

Trainer

Bertoleransi di Media Sosial

Diperbarui: 27 Juni 2016   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://fkptdiy.com/islam-dan-toleransi/


Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan luas yang besar dan berpenduduk besar. Besarnya jumlah penduduk berasal dari beragam suku bangsa dan agama. Indonesia menjadi negara pemilik pemeluk agama terbanyak di dunia. Tidak banyak negara yang bisa seperti Indonesia. Beberapa negara hanya menjadikan dua sampai tiga agama saja dalam negaranya.

Selain suku bangsa yang jumlahnya amat banyak, tiap suku bangsa pun punya kebebasan memeluk agama yang dipiliih. Ini adalah bukti betapa para pendahulu negeri ini sangat mengedepankan toleransi dengan menjadikan agama-agama lain yang bukan dianutnya menjadi agama yang diakui negara.

Isu-isu agama sebenarnya sudah muncul sebelum era reformasi. Isu jilbab racun menyebabkan umat Islam tidak berani menggunakan jilbab secara tertutup di ruang-ruang publik. Meski isu yang mendiskriditkan agama bermunculan, namun majelis ilmu agama tetap rutin diadakan tanpa merasa takut dan terancam.

Kajian-kajian agama bersifat mendasar sehingga masyarakat memiliki fondasi yang kuat dalam bertoleransi. Tak heran, perbedaan pendapat seperti apapun bisa disikapi dengan dewasa. Agama saat itu justru yang menjadi basis kekuatan bangsa dari tantangan yang kerap mendera bangsa.

Saat itu, bertetangga dengan non muslim tidak pernah ada masalah. Bahkan kami saling berkunjung di saat hari raya masing-masing. Berhubung dalam Islam tidak boleh mengucapkan selamat natal, kami tetap datang dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya”. Tidak ada rasa tersinggung sama sekali dari tetangga saya yang Kristen Protestan karena mereka tahu bahwa itu adalah hal yang prinsip bagi kami.

Bahkan mereka pernah mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan ternyata hanya keluarga kami yang diundangnya. Katanya, mereka lebih nyaman dengan keluarga kami ketimbang dengan tetangga-tetangga yang lain meski banyak yang seagama dengan mereka. Hingga kini, kami rutin saling berkunjung di hari raya dan saling bertukar makanan menjelang hari raya.

Atau ketika saya dan teman saya yang beragama Budha sedang membahas suatu persoalan dari sisi agama kami masing-masing. Ternyata masing-masing agama punya jawaban yang unik. Tapi kami pun bisa memberikan alasannya tanpa saling menyudutkan.

Perubahan di Era Reformasi

Era reformasi yang telah membuka keran-keran informasi memberikan efek di mana-mana, salah satunya dalam semangat beragama. Beragam media-media Islam yang membahas isu politik negara dan peperangan di berbagai negara dengan umat Islam sebagai korbannya bermunculan.

Era reformasi menjadi kesempatan untuk menyampaikan berbagai opini yang sebelumnya terbelenggu. Geliat gairah beragama terlihat di mana-mana. Kajian-kajian islam modern dan kontemporer bermunculan. Mayoritas kajian ini diisi dengan kajian politik dan ekonomi. Hal ini terkait dengan masalah negara saat itu dan rasa ingin tahu yang begitu besar dari para penganut agama, terutama mereka yang tidak punya dasarnya.

Agak berbeda dengan era ’90-an, kajian agama pasca reformasi (di era 2000-an) sifatnya lebih tematis agar lebih praktis menopang semangat keberagamaan. Sayangnya, era ini tidak diimbangi dengan penyadaran akan pentingnya memahami secara menyeluruh segala sesuatu lalu kemudian berpendapat di hadapan publik. Akibatnya, isu apapun yang hadir di ruang-ruang publik mendadak menjadi isu yang sensitif dan kericuhan pun kerap terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline