Lihat ke Halaman Asli

Syamsiah

Trainer

Si Buruk Rupa yang Berbiaya Tinggi

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukan orang cantik/tampan yang berbiaya tinggi. Tapi sebaliknya: “si buruk rupa” lah yang berbiaya tinggi.

Orang cantik/tampan yang adalah mereka yang saat bangun tidur pun tetap terpancar kecantikannnya/ketampanannya karena dasarnya sudah cantik/tampan. Orang cantik/tampan yang sebenarnya adalah mereka yang tidak butuh polesan untuk menonjolkan kecantikan/ketampanannya.

Tidak perlu ber make-up tebal apalagi sampai ke salon agar kecantikannya terlihat. Tidak perlu pakai baju bagus dan seksi agar terlihat seksi. Tidak perlu sampai mencatok rambut setiap pagi hanya ingin terlihat rapi. Tidak perlu rutin fitness agar badan lebih berbentuk dan seksi, dan ramping. Dengan baju biasa saja tubuh mereka sudah terlihat anggun dan mempesona. Bukankah seringkali keseksian justru membuat mata lelah ketimbang keanggunan?

Tampil apa adanya bukan berati tidak peduli dengan kondisi diri sampai betah tidak ganti baju satu minggu dan tidak mandi tiga hari. Kita tetap harus peduli pada penampilan diri, tapi bukan berarti mesti dandan berlebihan agar terlihat cantik. Karena kecantikan kosmetik hanya enak dilihat ketika kosmetiknya digunakan. Kecantikannya akan luntur bersamaan dengan lunturnya kosmetik yang digunakannya. Kosmetik yang berlebihan pun tidak enak dilihatnya.

Padahal mayoritas kita mesti berlama-lama memoles diri dahulu baru bisa Percaya Diri (PD) bertemu orang banyak. Mesti pakai pakaian yang bagus, mesti menata rambut berjam-jam, mesti menggunakan minyak wangi, baru bisa keluar rumah dengan nyaman. Mesti pakai sepatu model terbaru, asesoris mahal dan trendi agar terlihat berkelas. Bahkan mesti ke salon dahulu untuk menghadiri acara penting.

Itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya untuk menutupi kekurangan tampilan diri kita. Biaya kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak cantik/tampan. Biaya untuk menipu diri sendiri dan orang sekitar akan penampilan kita yang sebenarnya. Biaya untuk bisa mempesona banyak kalangan.

Tampil rapih memang keharusan, tapi bukan berlebihan sampai mesti ke salon hanya untuk menghadiri rapat penting. Atau ber make-up tebal hanya untuk ke mall. Bahkan para model pun mesti pakai make-up tebal dan melalui proses editing dahulu baru kemudian fotonya bisa ditampilkan. Mereka yang kita kenal sebagai ikon kecantikan pun ternyata hanyalah kamuflase dan tipuan belaka.

Jadi, jika kita masih suka mencari pasangan yang cantik setelah dipoles make-up dan memakai pakaian bagus dan asesoris trendi, maka itu sama saja kita mencari pasangan yang buruk rupa tapi berbiaya tinggi. Hei, bukannya kita semua menginginkan pasangan yang menghemat biaya?

Maka cobalah alihkan perhatian kita pada mereka yang sudah dari dasarnya cantik/tampan tanpa perlu polesan dan pakaian dan asesoris bagus dan trendi. Mereka yang cantik alami dan apa adanya sejatinya jauh lebih cantik ketimbang yang ber make-up dan berpakaian/asesoris bagus dan trendi.

Budaya Polesan di Mana-mana

Tidak hanya pada fisik, polesan juga banyak terjadi pada sikap. Ternyata selama ini kita hanyalah berupaya “menipu” dan “tertipu” penampilan luar. Model-model begini sangat banyak pada tokoh masyarakat. Dan kita yang menyaksikannya jadi membenarkan citra itu sendiri, dan kemudian mengikutinya. Citra yang ternyata palsu karena nyatanya ia tidak seperti itu.

Diatur sebisa mungkin agar sikapnya tetap terlihat anggun di depan banyak orang. Banyak bicara manis ketika di depan banyak orang tapi di belakang sikapnya amat menyakitkan. Orang tetap tidak percaya keburukannya karena setiap saat selalu ia tampilkan keramahan dan kesopanannya. Sampai akhirnya semua orang tertipu sikap manisnya, tapi semua sudah terlambat.

Tampil apa adanya sebagai diri pribadi sering dianggap kurang beretika. Padahal mereka yang tampil apa adanyalah yang bisa jujur di hadapan publik. Pilih mana? Kejujuran yang menyakitkan atau kebaikan di depan tapi di belakang menusuk? Kita yang terbiasa senang dan nyaman dengan polesan inilah yang mesti diragukan kejujurannya.

Berawal dari ingin terlihat cantik/tampan, benih-benih sifat munafik muncul. Maka banyak orang yang sudah terpapar keburukannya tapi tetap berupaya menutupinya dengan berbagai cara. Entah dengan menggunakan pengacara atau bahkan sampai menggunakan pengaruh media dalam membentuk citra positifnya. Maka pengacara dan media pun menjadi make-up dan asesoris bagi mereka yang mengutamakan citra ketimbang kerja keras, kesetiaan,  dan pengabdian.

Kosmetik itu yang mempercantik fisik kita. Sedangkan yang mempercantik hati(inner beauty) adalah sikap dan perilaku kita. Sikap positif yang konsisten memancarkan aura yang positif pada diri seseorang. Dalam berbuat kebaikan pun, terlihat mana yang hanya polesan (citra), mana yang berasal dari hati.

Sesungguhnya Allah Swt tidak melihat pada jasad-jasad kalian dan rupa-rupa kalian. Akan tetapi Allah Swt melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian (H.R. Muslim).

Wassalam

Sam_Me

Tulisan serupa bisa dilihat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline