Penggunaan ganja medis telah menjadi perdebatan yang kontroversial di Indonesia. Namun, dedikasi Santi Warastuti dalam mencari minyak CBD (Cannabidiol) sebagai terapi untuk anaknya yang menderita cerebral palsy telah menyoroti pentingnya mengakui potensi ganja medis dalam perawatan kesehatan. Melalui perjalanan yang telah dilaluinya, Santi menjadi simbol semangat bagi orang tua yang menghadapi tantangan penyakit kronis pada anak-anak mereka.
Cerebral palsy adalah suatu kondisi yang mengakibatkan gangguan motorik dan secara signifikan memengaruhi kehidupan sehari-hari anak yang mengalaminya. Kondisi ini disebabkan oleh kerusakan pada otak yang terjadi sebelum, saat, atau setelah kelahiran. Meskipun beberapa negara telah melegalkan penggunaan ganja medis dengan mempertimbangkan manfaatnya dalam pengobatan kondisi medis tertentu, di Indonesia, ganja masih dianggap sebagai narkotika golongan I yang dilarang penggunaannya.
Kasus Santi Warastuti mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak orang tua dengan anak yang menderita kondisi medis kronis. Sorotan langsung tertuju pada Santi setelah foto aksinya di Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta pada Minggu (26/6/2022) menjadi viral di media sosial. Foto tersebut diunggah oleh penyanyi Andien Aisyah melalui akun Twitter pribadinya, menampilkan Santi dengan poster besar bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" di tengah keramaian warga. Dalam aksi tersebut, Santi didampingi oleh seorang pria paruh baya dan seorang anak yang tergolek lemah di kursi roda. Anak tersebut bernama Pika, merupakan buah hati Santi dan suaminya.
Aksi ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk mendesak hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memutuskan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diajukan oleh Santi. Melalui keberaniannya, Santi berharap dapat memperjuangkan hak anaknya, Pika, serta memberikan harapan bagi orang tua lain yang menghadapi kondisi medis serupa. Aksi tersebut telah menarik perhatian banyak orang dan memicu diskusi yang lebih luas tentang penggunaan ganja medis di Indonesia.
Awal mula Pika mulai mengalami gejala pada awal 2015, di mana ia sering merasa lemas, muntah-muntah, dan mengalami kejang-kejang. Setelah menjalani berbagai pengobatan, termasuk pengobatan konvensional, Pika didiagnosis dengan epilepsi dan kemudian cerebral palsy pada tahun 2017. Meskipun Santi secara rutin membawa Pika ke rumah sakit untuk kontrol dan terapi, kejang yang dialami oleh Pika belum sepenuhnya teratasi.
Dalam upaya mencari pengobatan alternatif, Santi bergabung dengan komunitas Wahana Keluarga Cerebral Palsy di Yogyakarta. Di sana, ia berkenalan dengan Dwi Pertiwi, yang sebelumnya memberikan CBD oil kepada anaknya yang juga menderita cerebral palsy saat mereka tinggal di Australia.
Namun, penggunaan ganja medis di Indonesia dianggap ilegal berdasarkan UU Narkotika, sehingga Dwi terpaksa menghentikan terapi tersebut. Pengalaman tragis yang dialami oleh putra Dwi, Musa, yang meninggal dunia dengan kondisi yang dideritanya, menjadi inspirasi bagi beberapa ibu lain, termasuk Dwi, untuk mengajukan uji materi agar penggunaan Narkotika Golongan I dapat dimungkinkan dalam pelayanan kesehatan yang diperlukan. Tomi Gumilang, seorang pengacara, mendampingi Santi dalam proses pengajuan uji materi tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ganja medis menggunakan produk ganja yang mengandung senyawa-senyawa seperti CBD (Cannabidiol) atau THC (Tetrahydrocannabinol) untuk tujuan medis. Penelitian menunjukkan potensi ganja medis dalam meredakan rasa sakit, mengurangi kejang, dan mengobati beberapa kondisi medis. Namun, pengetahuan tentang efek ganja medis pada anak-anak dan remaja masih terbatas.
Penting untuk membedakan ganja medis dengan ganja rekreasional. Ganja medis digunakan dengan pengawasan ketat, memiliki konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang rendah, sehingga tidak menyebabkan efek psikotropik atau kecanduan. Penggunaan ganja medis perlu diatur dengan baik untuk menjaga keselamatan pasien dan memenuhi standar medis yang diperlukan. Di Indonesia, ganja medis masih dianggap ilegal berdasarkan UU Narkotika. Namun, dengan melihat kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh banyak pasien yang belum menemukan solusi dalam pengobatan konvensional, perlu ada diskusi serius dan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan kebijakan terkait ganja medis.
Saya yakin bahwa perjuangan Santi Warastuti dalam mencari ganja medis sebagai pengobatan bagi anaknya yang mengidap cerebral palsy menyoroti kebutuhan akan reformasi kebijakan terkait ganja medis di Indonesia. Kebijakan yang melarang secara tegas penggunaan ganja medis mengabaikan fakta bahwa ganja medis memiliki potensi sebagai alternatif pengobatan yang efektif dan aman bagi sejumlah pasien yang mengalami kondisi medis yang sulit diatasi. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu membuka ruang untuk diskusi terbuka mengenai ganja medis serta mengeksplorasi manfaatnya dalam pengobatan kondisi medis tertentu.