Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Post-Truth Dulu dan Masa Kini

Diperbarui: 27 Mei 2024   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena Post-Truth Dulu dan Masa Kini
Oleh: Syamsul Yakin dan Salwa Aulia Fitri
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fenomena post-truth sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ini tidak dimulai dengan munculnya media online, media sosial, atau jaringan sosial digital. Post-truth sudah ada sejak zaman dahulu, berasal dari hati manusia. Kebohongan yang tampak seperti kebenaran sudah ada sejak masa Nabi SAW. Jadi, post-truth adalah perilaku lama dengan kemasan baru. Pemahaman tentang post-truth bisa dilihat dari sabda Nabi SAW berikut ini.

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Saat itu pendusta akan dianggap benar sementara orang yang jujur dianggap pembohong. Pengkhianat akan dipercaya sementara orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah akan berbicara." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang ikut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pendusta dianggap benar sementara orang jujur dianggap pembohong, jelas post-truth sudah terjadi sejak lama. Orang tidak lagi terbimbing oleh opini dari sumber berita yang valid. Mereka lebih percaya hoaks yang memanipulasi emosi dan akal sehat. Post-truth mampu mengalahkan rasionalitas sejak dulu. Jika dibiarkan, ini akan mengancam kohesi sosial, pembangunan, dan kemandirian bangsa.

Secara psikologis, post-truth muncul dari ketakutan terhadap kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata kelola diri, ilmu, dan kerja keras. Post-truth adalah potret orang-orang yang kalah tetapi memaksa untuk menang, meskipun dengan intrik, agitasi, dan kampanye hitam. Akibatnya, pendusta dibenarkan dan orang jujur didustakan. Praktik politik modern pun tidak lepas dari serangan post-truth.

Ketika pengkhianat dipercaya sementara orang yang amanah dianggap pengkhianat, ini menunjukkan bahwa media sosial tidak anti-humanisme. Sejarah menunjukkan bahwa hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian sudah ada sebelum media konvergensi berkembang. Watak internet sebenarnya humanis, demokratis, dan pluralis. Namun, di era disrupsi, banyak orang diserang tanpa tahu siapa yang menyerang. Seseorang dikhianati tanpa mengenal pengkhianatnya.

Situasi ini diperparah oleh munculnya Ruwaibidhah, yang merepresentasikan masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa-bangsa dan peradaban. Dengan retorikanya, mereka berhasil mengontrol keadaan ekonomi dan politik. Ruwaibidhah ini mencoreng wajah media sosial yang seharusnya digunakan dengan bijak.

Untuk memenangkan persaingan ini, kita harus bermental progresif dan berpikiran futuristik dengan mengusung prinsip "tomorrow is today". Jika tidak, kita akan tergilas oleh perubahan yang cepat. Ketika platform berubah, kita harus melakukan pergeseran dan reposisi, dari "penumpang" era digital menjadi "pengendali".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline