Seperti yang kita ketahui, pada era yang modern ini banyak sekali bahasa-bahasa baru atau kosakata baru yang tidak terdapat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan kini muncul sebagai bahasa gaul yang dimana bahasa tersebut menjadi bahasa yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari ataupun ketika kita sedang berbicara dan berkomunikasi dengan lawan bicara.
Namun, dampak dari bahasa gaul itu menuai banyak perdebatan karena unsurnya yang bersifat kasar dan tidak elok jika di gunakan untuk berbicara sehari-hari.
Sebagai generasi milenial, banyak dari beberapa influencer atau public figure yang berbicara bahasa gaul atau kasar tersebut dengan vulgar di laman media sosial sehingga banyak orang yang melihat bagaimana cara mereka berbicara untuk menyambut orang-orang yang menontonnya. Yang pasti dampak dari bahasa kasar tersebut dapat merusak generasi selanjutnya. Apalagi jika diungkapkan di dalam media sosial yang jelas akan ada jejak digitalnya.
Dampak yang paling utama adalah dapat mempengaruhi anak di bawah umur. Di kota besar Jakarta ini, banyak sekali anak di bawah umur yang tumbuh mengikuti perkembangan zaman modern. Contohnya adalah ketika mereka berbicara dengan bahasa kasar seperti "anjrit","anjay" dan sebagainya saat bermain dengan teman sebaya nya. Entah dari mana bahasa tersebut mereka dapatkan, Tapi yang pasti, bisa jadi penyebab utamanya adalah karena faktor lingkungan dan mungkin bentuk pola asuh dari orang tuanya.
Lalu bahasa gaul atau kasar tersebut juga dapat memberikan efek buruk yakni kasus pembullyan terutama pada laman media sosial. Karena media sosial merupakan platform dari penjuru dunia sehingga akan banyak sekali yang mengakses laman tersebut. Efek pembullyan dari penggunaan bahasa kasar atau gaul yang mungkin dilontarkan di laman sosial media seseorang akan membuat seseorang itu mengalami efek samping trauma akibat dari pembullyan yang menggunakan bahasa kasar tersebut.
Sebenarnya, bahasa gaul yang tidak terdapat dalam KBBI tersebut sudah ada sejak tahun 90-an silam. Namun pada tahun tersebut, bahasa-bahasa gaul tersebut tidak terlalu populer dan bahkan hanya digunakan oleh kalangan anak-anak remaja pada tahun itu. Sejak tahun 90-an itulah bahasa gaul atau kasar itu menurun pada generasi milenial dan melahirkan kosakata baru di era tahun 2000-an tersebut.
Lalu, mengapa ketika di era milenial dampak negatif dari bahasa gaul atau kasar tersebut lebih banyak terlihat ketimbang pada era tahun 90-an?
Itu semua dikarenakan efek perkembangan zaman. Pada era 90-an, handphone belum secanggih seperti sekarang, bahkan media platform seperti gadget belum terlalu populer. Pada era tersebut, bahasa-bahasa itu hanya digunakan saat berkumpul dengan circle pertemanan saja. Tidak digunakan sebagai bahan olokan seperti ke kakak tingkat atau orang lain sekalipun. Dampak negatif pada zaman itu juga hanya berpengaruh kepada orang-orang tertentu seperti kepada teman sebaya saja. Biasanya prosesnya ketika kita sedang berbicara kepada teman, lalu teman tersebut berbicara kepada teman lainnya. Itulah sebabnya mengapa di tahun 90-an, dampak buruk dari bahasa gaul tersebut tidak terlalu banyak memakan korban, bahkan kepada anak-anak usia belia sekalipun.
Beranjak ke era milenial. Media digital atau media platform mulai berkembang dan mengembangkan situs-situs terbaru yang dapat memikat perhatian orang-orang akan kecanggihannya. Pada awal era milenial pula masih dalam proses adaptasi dengan kecanggihan perkembangan zaman tersebut. Lalu, pada pertengahan tahun 2000-an, mulailah dampak dari bahasa kasar tersebut tersebar luas. Hal itu dikarenakan adanya beberapa oknum yang salah dalam menggunakan dan memanfaatkan media sosial.
Pengaruh buruk dari bahasa kasar kepada anak usia belia juga disebabkan karena pola asuh orang tua. Orang tua milenial zaman sekarang banyak sekali yang mengandalkan smartphone atau tablet untuk mengelabui emosi anak. Dari smartphone tersebut, anggaplah terdapat konten yang disukai sang anak namun mengandung unsur bahasa kasar di dalamnya. Maka dari situlah, unsur bahasa kasar dalam konten tersebut dapat ditirukan oleh sang anak dan menjadi pengaruh kepada lingkungannya.
"Banyak ditemui bahwa anak-anak mudah menirukan segala hal yang telah didengar ataupun yang diamati. Begitu Pula dengan bahasa, anak secara tidak langsung menirukan bahasa yang sering didengar dan menggunakan bahasa tersebut dalam proses bertuturnya, tentunya dengan bahasa yang bervariasi atau beragam pula." (Armita, 2022).