Langit sore mulai temaram ketika saya melangkah masuk ke sebuah supermarket megah di pusat kota Malang. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut, membawa aroma yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk pasar tradisional. Rak-rak tersusun rapi, penuh dengan warna-warni buah-buahan yang mengkilap di bawah cahaya lampu. Saya berhenti sejenak, memandang deretan apel merah sempurna dan jeruk yang mengkilap seperti lilin, serta anggur tanpa biji dengan label shine muscat impor yang tersusun dalam kotak plastik. Semuanya tampak begitu indah, namun ada sesuatu yang terasa salah. Dimana buah lokal? Pernahkah Anda mencicipi manisnya buah kesemek dengan tekstur lembut di lidah atau merasakan segarnya mangga kweni dengan aromanya yang khas? Buah-buahan lokal seperti ini dulu bak primadona berjajar rapi di keranjang rotan mewarnai pasar-pasar tradisional. Namun, kini mereka kian menghilang, seolah terlupakan dari ingatan masyarakat. Supermarket dengan gemerlap lampu dan lemari pendingin modern kini mendominasi preferensi masyarakat khususnya di wilayah urban. Buah impor seperti apel Fuji dari Jepang, anggur California, hingga pir hijau dari Tiongkok memikat hati pembeli dengan warna cerah dan ukuran yang seragam. Namun jika kita perimbangkan lagi, Siapa yang tidak tergoda dengan lemari pendingin yang menampilkan apel merah berkilau memantulkan cahaya lampu, lengkap dengan label "premium"? Ditambah lagi, masyarakat mengasosiasikan buah buahan impor dengan kualitas superior lebih manis, lebih tahan lama, dan tentu saja, lebih menarik secara visual.
Ironisnya, di balik label "negara megabiodiversitas" yang melekat pada Indonesia, dengan tanah yang kaya akan keanekaragaman hayati (KEHATI) ini tengah kehilangan identitas pada pangan lokalnya. Indonesia, yang dikenal dengan ribuan jenis tanaman buah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, kini terancam kehilangan warisan pangannya. Buah-buahan yang dulu menjadi pangan lokal yang akrab di lidah masyarakat kini terdesak oleh gemerlapnya buah-buahan impor yang menghiasi rak-rak supermarket modern. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, Indonesia mengimpor buah-buahan dari berbagai negara dengan jumlah total mencapai 689.924,0 kg. Angka ini mencerminkan kecenderungan konsumen yang semakin tertarik pada buah-buahan impor. Selain itu buah-buahan impor sering dipresentasikan dalam kemasan yang eksklusif, dilabeli dengan merek-merek terkenal, dan dipajang di tempat yang strategis sehingga memberikan kesan eksklusif yang memikat konsumen. Sementara itu, buah-buahan lokal, yang seharusnya menjadi kebanggaan negeri ini, sering kali hanya tersedia di pasar tradisional.Dengan penampilannya yang "alami" tanpa pengemasan modern dianggap kurang menarik.
Duwet, kesemek, dan mangga kweni adalah bukti nyata dari sebuah transformasi budaya yang menggerogoti nilai lokal. Dulu, buah-buahan ini bukan sekadar aspek pangan khas Indonesia, tetapi juga simbol dari hasil kekayaan alam lokal. Namun, zaman telah berubah. Buah-buahan ini kini semakin jarang ditemukan di pasar modern. Buah lokal tak lagi punya ruang di dunia yang mendewakan kesempurnaan. Bentuknya yang tak selalu seragam dan warnanya yang kadang pudar, dianggap kalah cantik dari apel yang dipoles atau stroberi yang kemerahan. Saya teringat kata-kata ibu pada hari itu. "Buah itu seperti orang, Nak. Yang penting hatinya, bukan luarnya." Tapi siapa yang peduli pada hati buah-buahan ini? Jerih payah petani yang menanamnya di tanah yang sama dengan tempat kita berpijak seolah tak lagi dihargai.
Bukan karena mereka kehilangan rasa atau manfaat, tetapi karena tak mampu bersaing dalam hal promosi, pengemasan, dan persepsi masyarakat terhadap kualitasnya. Buah lokal yang tampil dengan bentuk tidak konsisten serta pengemasan yang sederhana dianggap kalah menarik dibanding apel impor yang mengkilap atau anggur tanpa biji yang tampak segar. Konsumen seringkali lupa bahwa keunikan rasa dan manfaat kesehatan buah lokal jauh lebih kaya dibanding sekadar penampilan. Seperti mangga kweni yang layak disebut superfood. Kaya akan vitamin C, juga mengandung beta-karoten yang berkontribusi pada kesehatan mata dan menurunkan risiko penyakit degeneratif. Kandungan serat tinggi dalam buah ini membantu melancarkan pencernaan dan mengontrol kadar gula darah. Dan duwet yang kaya akan antioksidan, terutama antosianin yang menjadikannya berwarna hitam pekat. Antioksidan ini berperan penting dalam melawan radikal bebas, mendukung kesehatan jantung, dan berpotensi menurunkan risiko peradangan kronis.
Kegagalan bersaing dengan buah impor ini membawa kita pada persoalan mendasar. Menurut Wakil Menteri Pertanian pada tahun 2011, Indonesia memiliki sekitar 13 juta hektar lahan pertanian, tetapi hanya 9,5% dari jumlah itu yang dialokasikan untuk perkebunan buah. Angka ini terus menyusut, tergerus oleh alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan kawasan industri. Setiap hektar kebun yang hilang berarti semakin sedikit buah lokal yang diproduksi. Produktivitas yang menurun ini berdampak langsung pada ketersediaan buah lokal di pasar. Ketika kebun-kebun kecil kehilangan daya tahan, pasar akan dengan mudah beralih pada buah impor yang datang dengan tampilan lebih menarik. Di sisi lain, rantai distribusi buah lokal yang panjang dan tidak efisien membuat harga melonjak, sementara konsumen modern cenderung mencari yang praktis dan selalu ada.
Faktor lainnya adalah penurunan kualitas buah lokal itu sendiri. Banyak petani yang menghadapi tantangan berat dalam budidaya, mulai dari serangan hama hingga perubahan iklim. Sementara itu, teknologi pasca-panen yang masih tradisional membuat buah-buahan lokal sulit bersaing di pasar modern. Semua ini semakin diperparah dengan gaya hidup masyarakat urban yang cenderung serba cepat, memilih buah impor yang siap saji dan tahan lama. Pergeseran preferensi juga dipengaruhi oleh urbanisasi. Di desa-desa, mengkonsumsi buah lokal masih menjadi pilihan masyarakat. Namun, di perkotaan, buah lokal kehilangan relevansi. Generasi muda lebih mengenal nama-nama seperti anggur shine muscat atau apel fuji dibandingkan kesemek atau mangga kweni. Namun, yang terkikis dari pilihan itu bukan sekedar buah lokal sebagai produk, melainkan warisan rasa yang seharusnya menjadi identitas bangsa, dan tentang hubungan antara manusia dengan tanah tempatnya berpijak. Jika keadaan ini terus dibiarkan, ancaman bagi keberlanjutan buah lokal bukan lagi sekadar wacana.
Seiring waktu, meredupnya popularitas buah lokal tidak hanya menjadi masalah pasar, tetapi juga menyentuh ranah budaya. Kita perlahan kehilangan jejak pengetahuan tentang buah-buahan tradisional, dari cara membudidayakan hingga nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Generasi muda yang lebih sibuk menggulirkan layar ponsel mungkin tidak lagi mengenali rasa manis asam duwet, apalagi ingin menanam pohonnya di halaman rumah. Di sisi lain, dampak ekonominya pun tak kalah mencemaskan. Ketika permintaan buah lokal terus menurun, petani yang mengandalkan hasil panen mereka sebagai sumber penghidupan harus mencari alternatif lain atau bahkan meninggalkan lahan mereka. Hal ini bisa menciptakan ketergantungan yang lebih besar pada produk impor, melemahkan kemandirian pangan kita. Petani yang kehilangan pasar seringkali terpaksa beralih profesi, meninggalkan tradisi bercocok tanam yang sudah mereka warisi dari generasi ke generasi yang menciptakan ancaman kepunahan varietas buah lokal.
Dampak lingkungan juga tak bisa diabaikan, punahnya varietas buah lokal berarti hilangnya keanekaragaman hayati (KEHATI) yang berharga. Setiap jenis buah membawa cerita dan perannya sendiri dalam ekosistem. Ketika pohon mangga kweni atau kesemek tidak lagi ditanam, kita juga kehilangan bagian kecil dari warisan alam yang tak tergantikan. Lebih jauh lagi, keragaman genetik yang hilang membuat pertanian kita lebih rentan terhadap perubahan iklim dan serangan hama. Namun, yang terkikis dari pilihan itu bukan sekedar buah lokal sebagai produk, melainkan warisan rasa yang seharusnya menjadi identitas bangsa, dan tentang hubungan antara manusia dengan tanah tempatnya berpijak. Jika keadaan ini terus dibiarkan, ancaman bagi keberlanjutan buah lokal bukan lagi sekadar wacana namun sebuah fenomena nyata. Keberlanjutan buah lokal bukan hanya tugas para petani atau pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama. Kita sebagai konsumen pun memegang kunci perubahan. Dengan memilih buah lokal, kita bukan hanya membantu petani dan ekonomi nasional, tetapi juga merawat warisan budaya dan alam kita. Sekilo duwet yang kita beli mungkin adalah langkah kecil untuk memastikan generasi mendatang masih dapat merasakan manisnya buah lokal negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H