Oleh : Salsabilla Aina Sa'ada
Mahasiswa D3 Keperawatan
Fakultas Vokasi
Universitas Airlangga
Indrajit Banerjee dalam artikelnya berjudul The Locals Strike Back? Media Globalization And Localization In The New Asian Television Landscape mengungkapkan pendapatnya, bahwa sudah seharusnya produsen film global melokalkan konten mereka untuk memenuhi selera lokal dari pelanggan-pelanggan mereka yang beragam, mulai dari bahasa dan budaya.
Tetapi selama ini, yang terjadi malah kebalikannya. Industri film raksasa, katakanlah di Hollywood sana, masih nyaman dengan konsep american dream-nya, dan juga praktik whitewashing yang dilangengkan.
Melihat beberapa penelitian 10 tahun ke belakang, yang terakngkum dalam skripsi Putri Rahayu Lestari berjudul Budaya Lokal di Media Global (Analisis Resepsi Penggambaran Budaya Lokal pada Serial Netflix Sacred Games), ditemukan bahwa film yang mengangkat budaya dan identitas lokal, khususnya di Asia cenderung sulit untuk menembus pasar global. Penyebabnya ada beberapa macam, di antaranya karena ras aktor dan aktrisnya, bisa juga karena adanya rasa enggan para produser untuk memasukkan aktor ras minoritas. Selain beberapa hal diatas, bahasa juga menjadi salah satu penghalang besar bagi film-film lokal untuk dapat kesempatan yang sama di media global. Hal ini diperparah dengan rasa enggan beberapa lapisan masyarakat untuk menggunakan subtitle.
Langkah yang kemudian dilakukan para pekerja film adalah menggabungkan budaya lokal dengan formasi budaya global. Hal ini banyak terlihat dalam praktik pembuatan film bela diri, misalnya film Bruce Lee, Jackie Chan dan sejenisnya. Hal tersebut, menurut Banerjee, terjadi karena adanya ketidakseimbangan besar pada arus budaya global dalam perdagangan komoditas budaya dunia, dimana pada hal tersebut muncul Amerika sebagai 'pemain" kuat dalam dunia perfilman.
Selain itu menurut Dawei Wang dalam artikelnya Globalization of the Media: Does It Undermine National Cultures?, ketimpangan di atas juga disebabkan karena sebagian orang memandang media massa sebagai saluran westernisasi. Sehingga globalisasi dinilai kurang baik oleh beberapa orang. Maka kita harus memahami pentingnya budaya dan bagaimana cara menjaganya supaya tidak tercemar. Padahal makna globalisasi menurut Oxford Dictionary adalah fakta bahwa budaya dan sistem ekonomi yang berbeda di seluruh dunia menjadi terhubung dan serupa satu sama lain. Faktanya, globalisasi berbeda dengan westernisasi.
Seiring dengan berjalannya fenomena di atas, Netflix pun hadir dengan salah satu strategi yang bisa disebut sebagai strategi globalisasi konten. Peran Netflix disini adalah sebagai wadah bagi konten-konten lokal dari berbagai belahan dunia untuk bisa tampil dan ditonton oleh masyarakat dunia. Beberapa negara pembuat konten tersebut mencoba menyelipkan nilai-nilai otentik dari kebudayaan mereka untuk menghubungkan diri mereka dengan dunia.
Strategi tersebut muncul pertama kali ditandai dengan adanya acara 'See What's Next: Asia' 2018 lalu. Acara ini juga bertepatan dengan momen peluncuran tiga konten Asia pertama Netflix, yakni 'BUSTED!' dari Korea Selatan, serial anime 'Devilman Crybaby' dari Jepang, dan serial kriminal thriller dari India, Sacred Games.Semenjak saat itu, Netflix misinya dengan menggandeng film maker lokal untuk menampilkan karyanya di media streaming ini. Sutradara Indonesia pun juga tak ketinggalan, film Timo Tjahjanto, The Night Comes for Us, bisa ditonton di Netflix sejak 2018 lalu.