Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Framing Media terhadap Dorongan Gerakan Feminisme di Indonesia

Diperbarui: 5 April 2024   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Menurut Ilaa (2021) feminism merupakan gerakan sosial dan politik yang memiliki tujuan untuk mencapai kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Dasar dari pemikiran feminisme berfokus pada upaya untuk menentang ketidakadilan yang disebebakn oleh konstruksi gender dalam masyarakat dan budaya. Gerakan feminism ini lahir atas kesadaran akan hak dasar manusia yang tidak diberikan semestinya sehingga terjadinya gugatan dan berdampak pada munculnya aksi perubahan dengan harapan untuk menciptakan masyarakat tanpa dominasi dan kekerasan. Tujuan utama dari pemikiran gerakan feminisme adalah penolakan pemisahan antara kebutuhan, perasaan, kebutuhan dan pengambilan keputusan yang tidak hierarkis secara kolektif dalam mencapai kebijakan dan perubahan sosial.(Eriyanto, 2002)

            Terkait dengan isu feminisme, media memiliki peran kuat dengan masyarakat tentang cara untuk mengkontruksi pandangan tentang perempuan. Menurut Wibawa (2013) media memiliki cara untuk melihat kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti objektifikasi perempuan, proporsi perempuan dalam organisasi dan perempuan sebagai objek pemberitaan media. Selama ini perempuan seringkali menjadi objek utama dari media dalam iklan produk atau acara yang menjadikan perempuan menjadi fokusnya. Hal tersebut tidaklah salah, namun yang perlu ditinjau kembali adalah bingkai media dalam memberikan informasi yang tepat bagi audiensnya. Media menjadi pusat informasi, dapat diperhatikan saja pada iklan produk. Menurut Dewi (2018) perempuan akan ditonjolkan menjadi objek contoh melalui fisiknya untuk mempengaruhi orang lain. Namun, disisi lain ketika terjadi pemberitaan kriminalitas dengan pelaku perempuan, justru yang sering dibahas bukanlah mengenai tindak kejahatannya melainkan sisi keperempuannya, seperti menyayangkan pelaku adalah perepuan yang cantik seksi ataupun hingga bentuk penampilannya.

            Gerakan feminisme di Indonesia telah terjadi dari masa kolonial hingga masa era reformasi sekarang. Salah satu tokoh terkenal yang seringkali kita dengar adalah R.A Kartini sebagai pelopor feminisme di Indonesia. Feminisme ini lahir tindakan-tindakan ketidakadilan pada masa kolonial terhadap hak bagi perempuan di masa penjajahan. Terjadinya keterbatasan akses perempuan untuk dapat mengenyam pendidikan dan keterbatasan untuk menyuarakan pendapat justru menjadi langkah awal perempuan di Indonesia untuk melakukan perlawanan atas penindasan, dominasi serta upaya menghilangkan tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai objeknya. Pada awal terjadinya pergerakan feminisme di Indonesia, tidak lepas dari penolakan yang sering dikaitkan dengan moral, nilai budaya dan juga agama yang sudah terkontruksi di masyarakat atas peran perempuan yang seharusnya. Ketika perempuan berupaya untuk memperjuangakan hak mereka, justru dianggap sebagai pemberontak dan merusak nilai budaya ataupun dianggap sebagai pendosa.

Gerakan feminisme di Indonesia telah mengalami kebangkitan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Faktor utama di balik momentum ini adalah pengaruh media, terutama media sosial, yang memainkan peran kunci dalam menyebarkan informasi dan gagasan tentang feminisme. Hardin, M., & Whiteside, E. (2010) berpendapat bahwa framing media, atau cara media membingkai suatu isu, menjadi faktor yang memengaruhi pemahaman dan respons masyarakat terhadap feminisme. Melalui media sosial, para aktivis feminis dapat menyampaikan pesan mereka secara langsung kepada audiens yang luas, memperluas jangkauan gerakan dan mendapatkan dukungan yang lebih besar. Namun demikian, framing media juga dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap feminisme, tergantung pada bagaimana isu-isu tersebut dipresentasikan dan dibahas oleh media. Oleh karena itu, penting bagi para penggiat feminis untuk terus memperjuangkan narasi yang inklusif dan akurat tentang perjuangan mereka, serta mengimbangi berbagai framing media yang mungkin muncul.

Menurut (Entman, 1993), framing adalah proses seleksi dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari suatu peristiwa atau isu, sehingga memandu bagaimana orang mendefinisikan dan memahami peristiwa atau isu tersebut. Framing media memiliki dampak signifikan dalam memengaruhi opini publik melalui beberapa cara yang mencakup menentukan agenda publik, menyediakan interpretasi, dan memicu emosi. Pertama, media memiliki peran penting dalam menentukan agenda publik dengan menyoroti isu-isu yang dianggap penting dan layak untuk dibahas oleh masyarakat. Dengan menempatkan fokus pada suatu topik tertentu, media dapat mengarahkan perhatian publik pada isu-isu yang dianggap relevan dan mendesak. Kedua, media memberikan makna dan interpretasi terhadap suatu isu melalui penyajian informasi yang dipilih dan cara penyampaiannya. Dengan memberikan sudut pandang tertentu, media dapat memengaruhi bagaimana masyarakat memahami dan merespons isu tersebut, baik secara positif maupun negatif. Terakhir, media juga dapat memicu emosi dengan menggunakan bahasa, gambar, dan video yang emosional untuk menarik perhatian dan memengaruhi opini publik. Penggunaan elemen-elemen ini dapat memperkuat pesan yang disampaikan oleh media dan membuatnya lebih persuasif dalam mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat terhadap suatu isu. (Badara, 2013)

Feminisme sering digambarkan sebagai gerakan yang anti-laki-laki. Serta menggambarkan feminis sebagai wanita yang membenci laki-laki dan berusaha untuk meniadakan peran mereka dalam masyarakat. Ini tercermin dalam berbagai liputan yang menyoroti sudut pandang ekstrem dari gerakan feminisme, mengesampingkan kenyataan bahwa feminisme sebenarnya berjuang untuk kesetaraan gender tanpa merendahkan pihak lain. Kedua, media cenderung menyoroti tindakan-tindakan ekstrem dari sebagian anggota gerakan feminis, sehingga menciptakan citra bahwa feminisme adalah gerakan yang radikal dan menakutkan. Isu-isu yang diangkat oleh gerakan feminisme seringkali disederhanakan dan distereotipkan oleh media. Misalnya, media cenderung menyederhanakan isu-isu kompleks feminisme menjadi stereotip yang mudah dipahami, seperti anggapan bahwa "feminis tidak suka berdandan" atau "feminis ingin semua wanita bekerja". Hal ini mengaburkan makna sebenarnya dari gerakan feminisme yang lebih luas dan kompleks, yang sebenarnya berjuang untuk penghapusan diskriminasi gender dan pencapaian kesetaraan hak dan kesempatan bagi semua individu, tidak hanya wanita. Framing media yang negatif ini dapat menghambat perkembangan gerakan feminisme di Indonesia dengan menciptakan pandangan yang salah dan meragukan dari publik terhadap gerakan ini. Sehingga, menurut Eriyanto (2011) mendukung gerakan feminisme menjadi sulit karena adanya stigma dan ketakutan yang tercipta melalui narasi-narasi yang dibangun oleh media. Oleh karena itu, penting bagi media untuk lebih memperhatikan keragaman sudut pandang dalam meliput isu-isu feminisme dan menghindari stereotip serta generalisasi yang tidak akurat.

Dampak framing media yang negatif terhadap gerakan feminisme mencakup berbagai aspek yang dapat menghambat kemajuan gerakan tersebut. Salah satu dampak utamanya adalah terjadinya penurunan dukungan publik terhadap feminisme. Ketika media menggambarkan feminisme secara negatif, baik dengan memperlihatkan feminis sebagai sosok yang agresif atau ekstrem, atau dengan menyajikan isu-isu feminisme secara bias, publik cenderung membentuk pandangan yang salah tentang gerakan ini. Akibatnya, mereka mungkin menjadi enggan atau bahkan menentang gerakan feminisme, yang pada gilirannya mengurangi momentum perubahan sosial yang dibutuhkan untuk mencapai kesetaraan gender. Untuk menghadapi tantangan framing media yang seringkali negatif terhadap gerakan feminisme di Indonesia, diperlukan serangkaian strategi yang cermat dan terperinci. Pertama, gerakan feminisme harus melakukan edukasi publik yang menyeluruh. Ini tidak hanya tentang menjelaskan apa itu feminisme, tetapi juga pentingnya membahas isu-isu yang relevan dengan cara yang dapat dimengerti oleh beragam lapisan masyarakat.

Penting bagi feminis untuk menghindari kesan radikal dan menciptakan dialog terbuka yang memungkinkan orang untuk memahami perspektif mereka dengan lebih baik. Selanjutnya, penting bagi gerakan feminisme untuk membangun hubungan yang kokoh dengan media massa. Hal ini melibatkan pendekatan proaktif dalam berkomunikasi dengan wartawan dan editor untuk memastikan bahwa liputan tentang feminisme tidak hanya akurat tetapi juga adil dan tidak bias. Melalui pembinaan hubungan yang baik, gerakan ini dapat memperkuat pengaruhnya dalam merancang narasi yang lebih positif dan mendukung. Selain itu, pemanfaatan media sosial menjadi aspek krusial dalam mengatasi framing media negatif. Dengan menggunakan platform-platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, gerakan feminisme dapat langsung berkomunikasi dengan publik tanpa harus melalui filter media tradisional. Ini memberikan kesempatan untuk mengedepankan narasi mereka sendiri dan memperluas jangkauan pesan-pesan mereka kepada audiens yang lebih luas. Dengan mengadopsi pendekatan yang holistik dan terintegrasi seperti ini, diharapkan gerakan feminisme di Indonesia dapat mengubah persepsi masyarakat tentangnya menjadi lebih positif dan inklusif, serta memobilisasi lebih banyak dukungan untuk perjuangan kesetaraan gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline