KUIS
Nama : Salsabila Jayanti Putri
NIM : 33222010006
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB
Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Ruang B - 301, Jumat 09:30 - 11:10
Korupsi merupakan perbuatan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah. Dalam konteks ini, keuntungan tersebut dapat berupa uang, fasilitas, atau keuntungan lainnya yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur. Korupsi mencakup sejumlah praktik, mulai dari suap, nepotisme, kolusi, hingga manipulasi dalam pengadaan proyek atau pemberian kontrak. Definisi korupsi juga mencakup penyalahgunaan kepercayaan publik, karena korupsi tidak hanya merugikan individu secara langsung, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan dengan merusak integritas institusi dan merugikan perkembangan ekonomi (Dirdjosisworo, 1994).
Dalam banyak kasus, korupsi merugikan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Praktik korupsi dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara, menyebabkan ketidaksetaraan, dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi investasi dan perkembangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi menjadi suatu prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang adil, berkeadilan, dan berintegritas. Upaya ini melibatkan peran semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil, guna menciptakan sistem yang tahan terhadap praktek korupsi dan menegakkan aturan hukum dengan adil dan tanpa pandang bulu.
Diskursus Edwin Sutherland mengenai kejahatan korupsi memberikan landasan konseptual yang kaya untuk memahami fenomena ini, terutama dalam konteks Indonesia. Sutherland memperkenalkan konsep "white-collar crime" yang merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok di dalam struktur bisnis atau pemerintahan. Kejahatan korupsi, yang sering kali terjadi di lingkungan pemerintahan dan sektor bisnis, merupakan bentuk dari white-collar crime. Indonesia, sebagai negara dengan sejarah kompleks dan transisi politik, telah menghadapi tantangan besar terkait korupsi. Sutherland menyoroti bahwa pelaku kejahatan korupsi seringkali berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki akses ke kekuasaan, sesuai dengan pola yang dapat diidentifikasi dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia (Ilyas, 1996).
Faktor budaya, politik, dan sosial juga memainkan peran kunci dalam menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Budaya patronase dan nepotisme, yang sering kali melibatkan praktik memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat, dapat memperkuat siklus korupsi. Selain itu, sistem politik yang berkembang dan seringkali tidak stabil dapat menciptakan celah bagi praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Peningkatan kesadaran dan akses informasi di era globalisasi dapat menjadi kekuatan untuk memerangi korupsi, tetapi tantangan tetap besar mengingat kompleksitas struktur sosial dan politik di Indonesia.