Lihat ke Halaman Asli

Salsabila Azhar Aditra

Universitas Padjadjaran

Pesona Budaya Kearifan Lokal: Tradisi Upacara Grebeg Keraton Yogyakarta

Diperbarui: 22 Juni 2024   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

 

 Di Indonesia, Pulau Jawa termasuk salah satu kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara. Masyarakat yang tinggal di daerah pulau Jawa ini mereka dominan menganut agama Islam. Agama dan kebudayaan merupakan 2 bidang yang saling tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam hidup masyarakat. Banyaknya unsur-unsur budaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat berasal dari agama yang dianutnya. Di daerah kota Yogyakarta, para kaum muslim mempunyai suatu adat tradisi kebudayaan yang biasanya dilaksanakan sebagai bentuk merayakan hari besar agama Islam dengan memberikan sedekah dari pihak Keraton Yogyakarta kepada masyarakat sekitar dan dilaksanakan pada 3 acara besar dalam 1 tahunnya. Keraton Yogyakarta merupakan tempat pusat dari keagamaan dan kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.  Adanya Keraton Yogyakarta ini menjadi simbol bahwa adanya budaya yang luhur serta mewarisi kebudayaannya

 Pernahkah kalian mendengar bahwa adanya tradisi upacara di Keraton Yogyakarta? Tradisi Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Upacara Grebeg. Upacara Grebeg sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu Grebe, Grebeg yang artinya suara angin yang sangat bising di telinga. Sedangkan kata  Anggrebeg berasal dari bahasa Jawa ini memiliki arti menggiring raja. Jadi, dapat diartikan Grebeg ini adalah banyaknya orang yang menggiring sesuatu. Upacara Grebeg ini dikenal akan keunikan saat proses acaranya yaitu adanya keberadaan  "gunungan" yang dijadikan simbol sebagai kesuksesan dan kesejahteraan masyarakat Keraton Yogyakarta. "Gunungan" yaitu hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung, terdiri dari sayuran, buah-buahan serta hasil bumi yang lainnya. Nantinya akan dimakan oleh masyarakat Keraton Yogyakarta dengan cara mereka yang mengikuti dibawa oleh seorang abdi dalem (seseorang yang bertugas sebagai operasional penjagaan di wilayah Keraton Yogyakarta yang diperintahkan oleh Sultan) untuk mengelilingi "gunungan" tersebut sambil berjalan saat Upacara Grebeg berlangsung.

Adanya kepercayaan yang dianut oleh para masyarakat Keraton bahwa yang mendapatkan makanan akan mendapat keberkahan. Hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra terkait pelaksanaan Upacara Grebeg. Mereka yang belum terlalu paham mengenai ritual Upacara Grebeg ini bisa salah tafsir dan berfikir bahwa tindakan yang dilakukan merupakan musyrik atau menduakan allah. Akan tetapi perlu dipahami kepada masyarakat bahwa Upacara Grebeg dilaksanakan sebagai simbol rasa syukur kepada Allah SWT serta bentuk perayaan hari besar agama Islam yang dilakukan pada saat Idul Fitri, Idul Adha, dan pada saat Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara kebudayaan masyarakat Yogyakarta ini memang dilakukan hanya di wilayah Keraton saja, khususnya pada Keraton Yogyakarta.

Pada awalnya upacara yang dilakukan sebagai simbol pemberian sedekah kepada masyarakat sudah dilaksanakan sebelum adanya agama Islam di pulau Jawa, yaitu Upacara yang seringkali disebut dengan raja wedha atau raja medha. Upacara ini dilakukan dengan pemberian hewan qurban dari raja kepada para rakyatnya dengan tujuan untuk saling memberikan rasa damai, tentram, dan dalam keadaan selamat negara Indonesia ini serta rakyat dan seisinya. Namun seiring berjalannya waktu upacara ini ditiadakan karena beberapa faktor, yaitu salah satunya setelah masuknya agama Islam ke pulau Jawa. Tradisi kebiasaan tersebut dianggap menentang atau tidak sesuai dengan ajaran nilai keislaman. Tetapi setelah upacara ini ditiadakan ternyata berdampak buruk karena sangat merugikan masyarakat, sehingga satu tokoh penyebar agama Islam di daerah Jawa kembali melaksanakan upacara tersebut dengan ketentuan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam.

 Upacara Grebeg Keraton Yogyakarta ini pertama dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono I, dalam pelaksanaannya mengikutsertakan seluruh penghuni keraton juga para masyarakat yang tinggal di sekitar Keraton Yogyakarta. Upacara ini menjadi bukti adanya kembali tradisi upacara yang sebetulnya sudah lama dilakukan sebelum masuknya agama Islam ke pulau Jawa. Tetapi perbedaannya Upacara Grebeg ini dilakukan sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam upacara ini dikenal akan menonjolnya nilai-nilai yang kental dengan unsur religi, kesenian, bahasa, maupun adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat Keraton Yogyakarta.

 Mengapa demikian? Upacara Grebeg ini memiliki 3 arti penting, yaitu Religius yang pada pelaksanaannya sendiri terkait dengan Sultan yang wajib menyebarluaskan dan menjaga agama Islam di kerajaannya, Hal ini berkaitan dengan kedudukan Sultan sebagai pemimpin. Selanjutnya yaitu  Historis, Sultan yang masih ada kaitan hubungannya sebagai sebagai ahli waris dari Panembahan Senapati. Terakhir memiliki arti nilai kultural yang berarti pada pelaksanaannya sendiri Upacara Grebeg ini kedudukannya dipimpin oleh seorang Sultan dari suku Jawa yang mewarisi kebudayaan-kebudayaan dengan memberikan tradisi atau adat dari kebudayaan para leluhur kepercayaan lama.

 Terdapat hal menarik juga unik menurut saya dalam pelaksanaan Upacara Grebeg yang menjadi pusat perhatian sekitar yaitu seperti pada proses Ritual Yasa Pareden, Tumplak Wajik, Ngabekten, Sekaten , dan Grebeg Parden (membawa gunungan). Ritual-ritual tersebut memiliki fungsi yang berbeda tetapi masih saling berhubungan tidak bisa dipisahkan. Pada dasarnya Upacara Grebeg ini yang dilaksanakan tiga kali dalam setahun merupakan upacara bersifat formal dan juga sakral. Dapat dilihat bahwa ketiga upacara tersebut walaupun memiliki nama sama yang disebut dengan Grebeg, Tetapi ketiga upacara ini memiliki perbedaan, yaitu diantaranya : 1.Upacara Grebeg Syawal

Pada upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk menghormati bulan puasa dan sebagai bentuk penyempurnaan rukun islam yang ke-4 yaitu berpuasa, dilaksanakan pada saat hari raya Idul Fitri. Upacara Grebeg Syawal ini juga dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada saat malam lailatul qadar. Pada Upacara Hari besar ini hanya terdapat 1 gunungan saja  yang disebut gunungan kakung.

2. Upacara Grebeg Besar

Upacara ini dilakukan pada saat bulan Zulhijjah yaitu pada saat dilaksanakannya lebaran haji yaitu Idul Adha. Dalam kalender Jawa, bulan Zulhijjah ini dikenal dengan sebutan Sasi Besar. Hari besar bulan Zulhijjah ini memakai 5 gunungan, yaitu gunungan putri, dharat, gepak, kakung, dan pawuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline