Lihat ke Halaman Asli

Rumah Ternyaman

Diperbarui: 11 Juni 2023   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak semua orang punya tempat berpulang meski ke rumahnya sendiri. Karena rumah tak selamanya bisa menampung semua hal yang datang. terlalu banyak yang harus diceritakan semuanya di rumah. kadang merasa percuma karena di dalam rumah tak hanya menampung kita saja. Hingga akhirnya memilih diam, bungkam seperti pulang dengan keadaan baik-baik saja. Rumah sudah terlalu sesak dengan segala pernak-pernik di dalamnya. beragam rasa dan bentuk-bentuk luapan jiwa yang lelah di lebur menjadi satu. Berbagai keluh kesah, kecewa, ambisi dan patah hati silih berganti mengisi sudut-sudut rumah. maka kerap kali apa yang terjadi di luar harus kita telan sendiri. Seberapapun lelahnya, sedalam apapun kecewanya juga serumit bagaimanapun keadaannya sebisa mungkin harus selesai sebelum tiba di rumah.

Apapun alasannya itu semua boleh-boleh saja karena memang hanya kita yang tahu bagaimana keadaannya. Rapuh dan kuatnya rumah yang kita tinggali pasti kadar ukurannya sudah hafal sampai ke dalam. Konsekuensi agar bisa pulang dengan membawa beban, gagal, kecewa dan putus asa terlalu beresiko untuk diambil. Pun jikalau itu semua memaksa untuk dibawa pasti sudah tidak ada jawaban apa-apa. Teras yang sudah kusam warnanya hanya terdiam tertunduk lesu melihat ada segenggam lara singgah di depan pintu. Sudah tak kuasa menyambut hangat tiap apa saja yang datang seperti biasanya. Mungkin sudah terlalu banyak luapan lara yang masuk di dalamnya. Tapi yang pasti ia mulai rapuh dimakan usia. Energinya sudah tak sekuat dulu, untuk sepenuhnya menampung dan meleburkan luka.

Maka tidak apa-apa jika aku tanggalkan semua itu sebelum membuka pintu. Benar-benar ringan kaki melangkah masuk ke dalam rumah tanpa adanya raut gundah dan gelisah. Agar ruang tamu yang telah sesak memeluk resah tidak semakin penuh tak berdaya. Meski menahan juga bukan hal yang mudah untuk berulang kali dilakukan. Karena bagaimanapun juga kita manusia biasa yang perlu pengakuan keberadaanya. Atas usaha dan juang yang masih diupayakan sampai tertatih badannya ditusuk letih. Tak jarang kita berpikir suatu saat bisa menumpahkan semua isi kepala agar hal-hal yang tak seharusnya bersemayam itu pergi. Tapi sekali lagi kita dipaksa untuk terus diam dan memang lebih baik diam dari pada kian rapuh tiang penyangganya karena tak kuasa lagi ditindih runyam. Akhirnya kita dipaksa untuk menerima keadaannya, mau tidak mau, enak tidak enak tapi itulah yang terbaik.

Membandingkan dengan rumah milik orang lain memang hanya akan membuat kita kian nelangsa. Melihat mereka bisa bebas untuk pulang kapan saja. Tak perlu mempertimbangkan banyak hal untuk bercengkrama dengan riang di ruang tamu. Sewaktu-waktu leluasa bercerita dan apapun ceritanya pasti diterima dengan sempurna. Selalu ada jawaban-jawaban yang menenangkan dari dinding rumah yang masih utuh. Pasti tersedia berbagai macam pilihan untuk menyelesaikan tiap persoalan yang datang. lengkap sekali rasanya jika memiliki rumah yang kokoh. Tak perlu takut dan khawatir pada apapun hasil yang ditemui dari sebuah usaha. Karena bagaimanapun kita akan selalu diterima dan diakui daya juangnya. Sudahlah, bersyukur dengan apa yang sudah ada memang pilihan paling baik. Jika memang sekarang hanya punya rumah biasa, atau bahkan telah rapuh dimakan usia percayalah pasti di dalamnya ada satu ruang istimewa. Ada satu kekuatan yang bisa tumbuh dari sana. Meski harus dengan usaha yang lebih, tak jarang harus tahan lebih lama dihujam pedih.

Meski demikian, jika kita sadar justru akan membangun kekuatan yang lebih. Dengan badan yang biasa untuk lebih lama menahan letih. Juga kepala yang kerap kali dipaksa untuk bungkam. Keadaan itu yang memunculkan hasrat untuk bisa lebih kuat. Di hari-hari yang akan datang bahkan bisa lebih kuat dari apa yang kita kira sebelumnya. Karena gagal dan berhasil bukanlah suatu masalah, tapi yang penting adalah bagaimana kita mengambil sikap untuk tetap tenang apapun keadaanya. Kembali lagi, terbiasa menikmati hal-hal yang kurang baik akan lebih siap ketika mendapatkan pencapaian dari usaha yang selama ini dilakukan.

Entah orang lain pernah menyaksikan atau tidak, tapi aku pernah bahkan sering melihat dengan mata dan jiwa yang sadar. Bahwa ada yang mampu dengan sengaja dan tulusnya ia pergi juga pulang ke rumah sembari memperlihatkan lengkung senyumnya. Bagaimana pun keadaan yang telah terjadi di luar sana tak mengubah tampilan wajahnya ketika pulang ke rumah. Meski ada beberapa kali, ketika lelahnya benar-benar tak dapat ditahan lagi. Tenaganya hampir habis hingga untuk menyangga senyumnya hanya tersisa sedikit saja. Terlihat jelas guratan muram di wajahnya, walau sekuat tenaga ia tahan agar seisi rumah tetap tenang memandangnya. Beberapa menit lagi matahari benar-benar tenggelam ke peraduan. Dengan tergesa-gesa ia beralih dari tempat duduknya menuju kamar mandi. Membasuh kulit yang hangus terbakar matahari. Melemaskan bahu yang tegang memikul beban seharian. Mendinginkan punggung yang ruas-ruasnya pegal tak karuan.

Padahal ia keluar rumah sejak pagi buta, tetap saja tak cukup jika belum samar maghrib hampir tiba. Benar saja, selesai mandi langsung ia kenakan kain sarung setinggi dada karena tak sempat lagi memakai baju. Segera ia bentangkan sajadah dengan peci melingkar erat menutup rambut yang masih basah. Tetesan air mengiringi ayunan takbirnya, seolah berkata bahwa penyesalan itu jelas adanya. Tapi apa bisa dikata, demi rumahnya tetap utuh. Tak ada alasan apapun yang pantas menjadi pembelaan meski harus tergesa-gesa mengejar ashar yang hampir habis. Iya, dulu sering sekali aku melihat pemandangan itu. Laki-laki yang selalu terburu-buru di waktu sore itu dulu sempat ku kira pengecut. Untuk pulang lebih awal saja ia tak berani, hingga harus kalang kabut menahan senja agar tak segera menghilang.

Dulu, aku kerap bertanya pada lelaki itu tentang permintaan-permintaanku yang tak juga ia turuti. Tentang keinginanku ketika meminta harus ada saat itu juga. Tapi tak pernah ia katakan tidak, meski helaan napasnya ia tarik agak dalam. Binar matanya teduh sembari menganggukkan kepala. Tanpa ku sadari, celotehan-celotehan ku tadi yang membuat ia tak di rumah seharian. Lalu berkejaran dengan sinar surya yang hampir terbenam. Iya, lelaki pengecut itu ku panggil Ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline