Lihat ke Halaman Asli

Salsabila Dwi Ramadani

salsabiladwiramadani18@gmail.com

MK Hapus Pasal Penyebaran Hoaks dan Pencemaran Nama Baik - Secercah Harapan Menuju Kebebasan Berpendapat

Diperbarui: 24 Maret 2024   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : www.mkri.id

Mahkamah Konstitusi resmi mengabulkan sebagian uji materi pada tanggal 21 Maret 2024 yang diajukan oleh Direktur Lokataru Haris Azhar, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanaty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Ketua Umum AJI Sasmito dan Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas Unggraini. Beberapa pasal yang diajukan meliputi Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 45 ayat (3) UU. Dalam Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 MK menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara pada Pasal 310 ayat (1) KUHP inkonstitusional bersyarat.

Ketidakjelasan penggunaan kata "keonaran" pada pasal 14 dapat memicu pasal karet karena bersifat subjektif dan multitafsir. Jika diamati lebih dalam tidak ada tolok ukur yang jelas, artinya keonaran dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan ataupun tidak. Dalam KBBI, kata "onar" atau "keonaran" memiliki beberapa arti, yaitu kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Kata tersebut juga bermakna tidak tunggal sehingga memiliki maksud yang berbeda-beda, begitu juga akibat yang ditimbulkan oleh makna dari kata yang telah disebutkan. Berdasarkan pertimbangan yang dibacakan, poin "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan" juga memicu sifat norma menjadi pasal karet karena penggunaan teknologi saat ini menjadikan masyarakat lebih mudah dalam mengakses berbagai informasi melalui media sosial tanpa mengetahui berita yang sedang dipublikasi merupakan berita benar, bohong, maupun berlebihan. Penilaian terhadap situasi "onar" berdasarkan MK memiliki sifat yang berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan dan membatasi ruang lingkup terhadap kebebasan berpendapat. Apalagi, dengan ketidakjelasan tafsir kata "keonaran" dalam Pasal 14 dan 15 KUHP, seseorang yang telah menyebarluaskan berita bohong tidak diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.

Dalam amar putusan uji materi Pasal 310 ayat (1) KUHP, Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa pasal yang dimaksud inkonstitusional bersyarat karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak diartikan. Rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP sebenarnya telah diakomodasi pada KUHP baru, yakni Pasal 433 UU 1/2023 yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang. Hanya saja terdapat perbedaan ketentuan pada dua pasal tersebut. Pasal 433 UU 1/2023 menegaskan pelaku pencemaran yang mencakup perbuatan 'lisan', sedangkan unsur tersebut tidak termuat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Untuk menghindari ketidakjelasan dan ambigu, unsur diatas perlu diadopsi agar memiliki hukum yang mengikat.

Perohonan uji materi yang diajukan oleh Haris dan rekan-rekan dilatarbelakangi atas dakwaan terkait pencemaran nama baik Menko Marves RI Luhut Binsar Pandjaitan tentang konten mereka yang menyebut bahwa Luhut ikut "bermain" di tambang Papua. Setelah melewati proses yang panjang, Haris dan Fatiah tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik maupun menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menyebabkan keonaran. Pada akhirnya Haris dan rekan-rekan menggugat pasal yang dinilai subjektif sehingga merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret. Mereka beranggapan bahwa pasal yang dimuat dalam gugatan justru menjadi alat untuk mengkriminalisasi masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dan pejabat negara.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan terkait pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong telah mengembalikan marwah dan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Kebebasan berpendapat kini tidak lagi terbelenggu oleh pasal karet dan menekan perbuatan kritikus pemerintah sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang hampir pudar. Pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah sebagai fungsi kontrol dan memperbaiki keadaan sehingga dapat menciptakan pembangunan yang adil makmur. Selain itu, kebebasan berpendapat juga dapat membatasi kesewenang-wenangan pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline