Salah satu kue tradisional yang memiliki cita rasa manis adalah kue cincin. Kue cincin ini merupakan salah satu jajanan khas daerah seperti Kalimantan, Betawi, Sunda. Orang Betawi menyebutnya sebagai kue cincin, orang Sunda menyebutnya sebagai Ali Agrem, dan orang Kalimantan Selatan khususnya di Banua Anam menyebutnya dengan nama wadai cincin.
Bentuknya memang seperti cincin. Namun wadai cincin yang dijual di pasar atau warung-warung Banjarmasin dan sekitarnya termasuk kota Kandangan adalah jenis wadai cincin mata empat, yaitu wadai dengan warna cokelat agak gelap dengan diameter sekitar 5 cm dan di bagian tengahnya terdapat 4 (empat) lubang, sehingga disebut dengan wadai cincin mata empat.
Selain bentuknya yang unik, kue ini juga memiliki rasa yang enak dan lezat, cocok untuk dinikmati di saat santai bersama dengan segelas kopi atau teh hangat.
Menurut buku Makna Simbolik dan Nilai Budaya Kuliner "Wadai Banjar 41 Macam" pada Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan, empat lubang yang berada di wadai cincin melambangkan empat penjuru mata angin yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Empat penjuru mata angin itu menunjukan darimana datangnya siklus alam, juga menggambarkan keharmonisan alam satu dengan alam lainnya.
Wadai cincin adalah salah satu jajanan favorit di dalam budaya "Mawarung" di Kalimantan Selatan. Mawarung adalah kegiatan santai di pagi hari sambil sarapan sebelum melakukan aktivitas harian dan ini juga adalah budaya turun menurun dari masyarakat Kalimantan Selatan yang identik dengan kue-kue khas Banjar.
Salah satu penjual sekaligus pembuat wadai cincin legendaris di kota Kandangan, Kalimantan Selatan adalah Bapak Iman (60) dan isteri beliau Ibu Siti Sarah (56) yang sudah berjualan wadai cincin selama 30 tahun dan memiliki cabang di beberapa tempat di kota Kandangan.
Lokasi Bapak Imam dan Ibu Siti Sarah menjual wadai cincin ini berada di depan rumah mereka di pinggir Jalan Jend. Sudirman Desa Tibung Raya, samping langgar Al-Husna Kandangan.
Meskipun berjualan hanya di teras rumah yang tidak terlalu besar, Ibu Siti Sarah dan Bapak Imam selalu menerima banyak pesanan dari pasar tradisional maupun warung lokal, beberapa orang juga ada yang langsung datang ke tempat Bapak Imam dan Ibu Siti Sarah berada untuk membeli wadai cincin langsung yang baru saja di goreng.
Sejak pukul 06.00 pagi mereka sudah berjualan di depan rumah. Mereka seharinya bisa membuat wadai cincin ini sebanyak 300 sampai 600 buah perhari tergantung pesanan. Kue yang berbahan dasar dari campuran gula merah cair, tepung beras dan kelapa sangrai ini di bandrol dengan harga 1.000 rupiah persatuannya.
Wadai cincin buatan rumahan ini banyak peminatnya, dan memiliki pelanggan setia terutama dari pulau Kalimantan sehingga masih eksis hingga sekarang. Wadai cincin ini tidak memakai pengawet, dan bisa bertahan hingga 1 minggu, cocok menjadi buah tangan khas Banjar.