Fenomena Korupsi di Era Reformasi
Era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto runtuh setelah bertahan selama 32 tahun. Keruntuhan Orde Baru ini dipicu oleh banyaknya permasalahan ekonomi, politik, hingga pembangunan yang berdampak kepada rakyat. Lengsernya Soeharto juga menandai kematian sebuah era yang melahirkan era baru yang dikenal dengan nama era Reformasi. Era Reformasi ini dapat dikatakan merupakan era yang berusaha untuk membentuk kembali sistem pemerintahan Republik Indonesia. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 pun menyebutkan bahwa reformasi memiliki tujuan untuk mewujudkan pembaharuan di segala bidang pembangunan nasional, terkhusus bidang ekonomi, politik, hukum, agama, dan sosial budaya.
Namun dengan berbagai wacana pembaharuan di awal era reformasi, belum menjadi kepastian akan sejahteranya negara Indonesia di berbagai bidang. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya kasus korupsi di era reformasi. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga turut menyatakan bahwa korupsi para era reformasi nyatanya lebih meluas dibandingkan dengan era Orde Baru. Menurut Mahfud MD, sekarang nama demokrasi diselewengkan di mana korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, namun sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat hingga daerah.
Pada era reformasi, upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dimulai oleh Presiden B. J. Habibie melalui ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Upaya dari presiden ke-3 Republik Indonesia ini dilakukan berdampingan dengan berjalannya Ketetapan MPR tersebut dengan turut diubahnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Setelah habisnya masa kepemimpinan Habibie, rupanya upaya yang dilakukan dalam memberantas korupsi semakin giat dilakukan dengan dikeluarkannya undang-undang anti korupsi, pembentukan badan-badan anti korupsi, serta didampingi oleh dukungan dari masyarakat terhadap pemerintahan reformasi.
Kemudian pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, upaya pemberantasan korupsi diperluas dengan dibentuknya sebuah badan anti korupsi bernama Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tugas dan wewenang dari badan tersebut adalah melakukan koordinasi penyidikan kasus serta tindakan korupsi dan koordinasi penuntutan tindakan korupsi. Namun pada akhirnya kinerja badan pemberantas korupsi ini tidak berjalan sesuai rencana karena dalam proses menjalankan tugasnya, TGPTPK mengalami masalah perizinan untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi pada saat itu.
Setelah itu terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi upaya pembasmian kasus korupsi pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan terbentuknya KPK, terdapat banyak kasus korupsi yang berhasil dibongkar dan menjadikan KPK sebagai badan anti korupsi paling berhasil dibandingkan badan-badan anti korupsi yang pernah dibangun sebelumnya. D
apat dikatakan bahwa upaya negara dalam memberantas korupsi di era reformasi lebih efektif dibandingkan era-era sebelumnya. Dengan banyak tertangkapnya koruptor di Indonesia menjadi salah satu tanda dari keberhasilan tersebut. Namun hal ini belum bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang sudah bebas dari kasus korupsi karena dengan tertanganinya banyak kasus, nyatanya belum mampu memberikan efek jera kepada pejabat publik lainnya di mana hal ini dapat dilihat dari masih menjamurnya kasus korupsi di negeri ini.
Kronologi Kasus Korupsi E-KTP Setya Novanto
Pada 17 Juli 2017, KPK mengumumkan bahwa Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Penyelewengan ini dimulai pada proyek yang terjadi pada 2011 hingga 2012.
Saat itu Setya sedang menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Setya diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP sejumlah Rp 5,9 triliun dapat disetujui oleh anggota DPR. Tidak berhenti sampai di situ, Setya Novanto juga diduga telah mengatur pemenang pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Kemudian didampingi pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, Setya Novanto diduga menyebabkan kerugian kepada negara hingga Rp 2,3 triliun.
Pada 18 Juli 2017, Setya novanto melakukan jumpa pers guna memberikan respon terhadap penetapannya sebagai tersangka korupsi e-KTP. Pada jumpa pers tersebut Setya Novanto mengakui kebenaran dari kasus yang menyeretnya dan akan menjalani proses hukum dengan sebagaimana seharusnya. Namun pernyataan lain yang disampaikan olehnya adalah ia menolak untuk turun dari jabatannya sebagai Ketua DPR ataupun Ketua Umum Partai Golkar.