Terpukul rasanya mendengarkan hati dan pikiran menegur hingga berteriak. Pikiranku haus, jiwaku lapar. Kebutuhan akan kebebasan menguak bersamaan dengan timbulnya rasa kehilangan. Kehilangan yang baru disadari, dirasakan.
Sesesak inikah rasa terkekang? Bukan oleh pribadi lain. Bukan oleh hukum rimba sekitar. Yang menyakitkan adalah saat tersadar bahwa rasa ini dihadirkan oleh keseharianku. Oleh cinta yang salah aku lemparkan. Cinta yang salah? bukan. Aku masih mencintainya. Sepenuh hatiku. Sungguh. TUHAN, benarkan aku masih mencintainnya? Engkau tahu kan betapa aku, bahagianya aku saat bertemu dengannya. Saat-saat indah bersentuhan bahkan bersetubuh dengannya. Memasukkan jiwaku padanya. Sepenuhnya.
Namun cintaku yang ini membuatku sedikit demi sedikit melupakan cintaku yang lama. Menekan pertumbuhan cintaku yang sedang dan ingin kupupuk. Aku ingin KAYA!!!! Kaya mencintai, kaya berkarya, kaya berbuat. Menghasilkan cinta! Egois? Mungkin. Serakah? Lepas peduli.
Sesulit ini menghancurkan atau setidaknya melepaskan diri dari rutinitas? Yang aku tahu, aku yakin dan telah pasti. Jalan ini bukan pilihan, jalan ini jalan hidup. Dan tiada satu hal atau bahkan pribadipun yang mampu memutuskan jalanku selain TUHAN. Apalagi waktu atau rutinitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H