*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Fenomena Kotak Kosong Pilkada
Fenomena kotak kosong menjadi perhatian menjelang Pilkada 2024. Berdasarkan informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga kini terdapat satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten yang berpotensi calon kepala daerahnya melawan kotak kosong.
Hal ini menjadi konsekuensi demokrasi dan masyarakat berhak menentukan dan boleh memilih kotak kosong. Sering kali, kotak kosong dianggap keuntungan oleh pasangan calon. Namun, calon tunggal tak selalu menang melawan kotak kosong.
Fenomena calon tunggal dalam pemilu terjadi ketika hanya satu kandidat atau pasangan calon yang maju dalam kontestasi politik, tanpa adanya lawan yang memadai atau kompetitif.
Situasi ini bisa muncul karena beberapa faktor, seperti dominasi partai politik tertentu, aturan pemilu yang membatasi munculnya calon alternatif, atau kurangnya minat masyarakat untuk mencalonkan diri.
Dalam konteks ini, calon tunggal menjadi satu-satunya pilihan bagi pemilih, sehingga pilihan demokratis yang seharusnya beragam menjadi terbatas.
Kemunculan calon tunggal sebagai "opsi tunggal" menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas dan keabsahan proses demokrasi, karena menghilangkan unsur kompetisi yang sehat dan mengurangi partisipasi aktif pemilih dalam menentukan pemimpin mereka.
Kehadiran calon tunggal menimbulkan perdebatan dalam demokrasi karena bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi itu sendiri, yakni adanya pilihan yang bebas dan kompetitif bagi pemilih.
Ketika hanya ada satu calon yang maju, esensi dari kompetisi politik hilang, sehingga pemilu berisiko berubah menjadi sekadar formalitas tanpa pilihan nyata.