SEBUAH PARADOKS : MENCINTAI KEPALSUAN, MEMBUNUH KEBENARAN
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Dalam era digital yang serba cepat ini, informasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran itu sendiri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 2018 menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin untuk dibagikan di media sosial dibandingkan dengan berita yang benar.
Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya daya tarik hoaks, yang sering kali memanfaatkan emosi manusia, seperti rasa takut, kemarahan, dan kebencian. Ketika hoaks merajalela, kebenaran menjadi korban utama, tenggelam dalam lautan informasi palsu yang disebarkan tanpa henti.
Paradoks manusia yang mencintai kepalsuan dan sekaligus membunuh kebenaran mencerminkan kontradiksi mendalam dalam perilaku sosial kita. Di satu sisi, ada ketertarikan yang kuat terhadap informasi yang menghibur atau memperkuat keyakinan pribadi, meskipun itu palsu. Namun, di sisi lain, ketika kita menerima dan menyebarkan kepalsuan ini, kita secara tidak langsung turut andil dalam menghancurkan kebenaran yang sesungguhnya.
Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kepalsuan menjadi lebih diinginkan, sementara kebenaran yang menantang atau tidak menyenangkan justru ditolak dan diabaikan. Paradoks ini bukan hanya merusak persepsi kita terhadap realitas, tetapi juga mengancam integritas sosial yang dibangun di atas fondasi kebenaran.
Fenomena Kecintaan terhadap Kepalsuan
Hoaks adalah informasi palsu atau menyesatkan yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menipu atau memanipulasi penerima informasi. Hoaks sering kali menyamar sebagai berita atau fakta yang tampak meyakinkan, sehingga banyak orang yang mempercayainya tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Di era digital, penyebaran hoaks menjadi semakin cepat dan masif, terutama melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbagi konten lainnya.
Kecepatan penyebaran hoaks di dunia digital disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang mendapat banyak interaksi, sehingga hoaks yang kontroversial atau emosional lebih mudah viral. Kedua, sifat anonim di internet memungkinkan penyebar hoaks untuk menyebarkan informasi tanpa takut akan konsekuensi. Ketiga, kecenderungan manusia untuk mencari konfirmasi atas keyakinan atau prasangka pribadi (confirmation bias) membuat hoaks yang sesuai dengan pandangan seseorang lebih mudah diterima dan disebarkan.
Orang cenderung lebih suka percaya dan menyebarkan hoaks karena berbagai alasan psikologis. Konfirmasi bias membuat mereka lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan atau prasangka yang sudah ada, tanpa memeriksa kebenarannya. Selain itu, kebutuhan akan sensasi mendorong individu untuk mencari dan berbagi cerita yang mengejutkan atau dramatis, meskipun cerita tersebut tidak benar.
Hoaks memuaskan kebutuhan psikologis individu dengan memberikan perasaan kontrol, kepastian, dan identitas. Ketika seseorang menemukan hoaks yang sesuai dengan keyakinan atau emosinya, mereka merasa terkonfirmasi dan mendapatkan rasa aman dalam dunia yang kompleks dan tidak pasti. Hoaks juga memungkinkan orang untuk mengekspresikan identitas atau afiliasi kelompok mereka, memperkuat rasa memiliki dan solidaritas, meskipun ini dilakukan dengan cara yang menyesatkan. Akibatnya, meskipun tidak berdasar pada kebenaran, hoaks tetap memberikan kepuasan emosional yang kuat bagi mereka yang mempercayainya.