Lihat ke Halaman Asli

Salmiwati Rumadan

Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada)

Perempuan Korban Permerkosaan dalam Budaya Patriaki

Diperbarui: 9 Agustus 2024   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar ngopibarangid

PEREMPUAN KORBAN PEMERKOSAAN DALAM PANDANGAN BUDAYA PATRIAKI

kasus kekerasan seksual terutama yang menyangkut perempuan menjadi korbanya sangat penting untuk dibicarakan, karna maraknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan baik kasus yang menyerang fisik, psiskis , bahkan kasus seksual seperti pemerkosaan yang di timpa perempuan . Seperti Data yang di terima Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, kasus pemerkosaan semakina meningkat . kasus kekerasan seksual naik menjadi urutan kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual tertinggi pada rana personal adalah pemerkosaan sebanyak 2.399 kasus . pelakuknya didominasi oleh laki-laki .

Tapi kemudian yang menjadi pertanyaan yang menarik adalah bagaimana pandangan masyarakat melihat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual ini patut mendapatkan kompensasi atau peringanan karna mereka menjadi korban kekerasan, namun tampaknya hal tersebut bukan menjadikan perempuan layak mendapatkan apresiasi perlindungan namun malah mereka di anggap sebelah mata, dengan mengeluarkan stetmen yang kurang baik terhadap perempuan tersebut. Mereka malah mengagap bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual lebih tepatnya korban pemerkosaan dianggap sebagai perempuan jalang, tidak pandai menjaga diri dan lain-lain.

Secara sederhana budaya patriaki adalah budaya dimana laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Budaya patriaki secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender. Sejumlah kasus kejahatan seksual termaksud pemerkosaan adalah potret dari budaya patriaki yang tertanam dalam konstruksi gender. Konstruksi gender telah melahirkan benih-benih kekerasan. Proses sosialisasi gender di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat telah menghasilkan laki-laki yang mendefinisikan dirinya sebagai pemenang dan penakluk. Sementara perempuan memahami dirinya sebagai pihak yang harus tunduk laki-laki. Sejak kecil, anak-anak perempuan diajar untuk " berdiam di dalam rumah ", menjadi anak yang manis dan penurut", " tidak boleh keluyuran pada malam hari agar tidak diberi pandangan sebagai " perempuan nakal".

Sosialisasi tentang kehormatan tubuh perempuan begitu kuat tertanam dalam pikiran anak-anak perempuan hingga ketika mereka bertumbuh dewasa. Ajaran-ajaran keluarga memberikan isyarat bahwa perempuan selalu berhadapan dengan bahaya yang mengancam tubuhnya. Pertatanyaanya, mengapa harus perempuan yang perlu mendapat nasehat ini ? apakah laki-laki mendapatkan nasehat yang serupa mengenai penjagaan atas tubuh mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya inggi mempersoalkan perbedaan perlakuan pada laki-laki dan perempuan yang menyuburkan penindasan, ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan.

            Tampaknya hal ini menjadi sangat jelas bahwa perempuan telah di konstruksi untuk menjadi korba nantinya, namun permasalahan yang timbul kemudian adalah mengapa seorang perempuan ketika mnejadi korban kekerasan kemudian malah ditindas dan disalahkan , padahal realitanya diadalah korban yang harus di bela bukan malah di anggap tidak memiliki harga diri dan kehormatan. Hal ini menunjukan bahwa sistem budaya patriaki sejak awal telah menempatkan perempuan sebagai sumber kehancuran yang ada dalam masyarakat, dan laki-laki yang menjadi pelaku dianggap sebagai kewajaran atas perbuatan yang dilakukannya.

            Laporan Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual   pada bulan Mei 2022 hingga Desember 2023 terdapat 4.179 kasus. Kelonjakan tindakan kekerasan yang ditimpa perempuan tampaknya tidak dapat dianggap remeh karna maraknya tindakan kekerasan terhadap perempuan akan mengisolasi perempuan untuk menentukan kebebasan dan perlindungan baginya.

            Namun mengapa perempuan yang menjadi korbannya karna budaya patriaki telah merancang perempuan menjadi korban dan mengkonstuksi perempuan menjadi korban pemerkosaan dikarenakan ketidak berdayaan perempuan melawan laki-laki. Pemerkosaan hanya dapat terjadi ketika perempuan dianggap sebagai objek yang dapat diperdayai dan yang tidak berhak atas tubuhnya sendiri. Gadis Arivia menyebutka dominasi laki-laki atas perempuan sudah sedemikian merusak di dalam masyarakat patriaki sehingga perempuan pun merasa bahwa laki-laki sepantasnya berkuasa atau selalu benar dan perempuan selalu salah. Emilia Buchard dikutip oleh Arivia mengatakan masyakat yang sering terjadi perkosaan dianggap mempunyai "budaya memperkosa" yang sudah "diterima" didalam komunitas mereka. Budaya memperkosa adalah serangkaian kepercayaan yang kompleks yang mendukung angresi seksual laki-laki dan kekerasan terhadap perempuan. Ketika tragedy perkosaan terjadi, perempuan seringkali disalahkan dibuat bersalah karena mereka tidak mampu menjaga tubuh dengan baik.

            Hal ini menunjukan bahwa budaya patriaki tampaknya menwajarkan dan mengagap situasi tersebut sebagai sesuatu yang di anggap biasa dan lumrah , dikarenakan perempuan hanyalah makhluk yang lemah yang mudah untuk menjadi korban kekerasan dan mengucilkan perempuan atas tindakan pemerkoasaan yang ditimpah olehnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline