Lihat ke Halaman Asli

Ia dan katakata

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Ia menyerahkan tujuan pada kakinya. Kakinya memiliki kemerdekaan untuk membawanya kemana saja. Dan setiap kali kaki itu berhenti, disitulah rumahnya.

Katakata menyapa saya di suatu waktu kala saya sedang menikmati senja.

“Apakah anda dia?” tanyanya.

Saya bukan dia, tapi saya tahu dia siapa, jawab saya tanpa alihkan pandang dari senja.

“Bagaimana kabarnya?” kembali ia bertanya.

Begitulah, jawab saya.

Kadang ada, meski lebih sering tiada. Tak pernah peduli akan segala, namun herannya, selalu saja segala peduli padanya.

Enak juga menjadi dirinya. Tak pernah bertanya namun selalu ditanya. Meski tanya tak selalu berjawab, namun penanya tak pernah marah. Tak ‘kan pernah. Karena mereka butuh dia. Mereka butuh keberadaannya dan jawab hanyalah tambahan saja.

Ia datang dan pergi sesukanya. Dan mereka yang ditinggal tak pernah sedih. Mereka tahu ia memang ada untuk dibagi dan berbagi. Egois adalah mereka yang tak mau membagi dan berbagi. Dan dia, sama sekali bukan egois. Maka, mereka pun ikutan pula membuang egoisme mereka. Demi dia.

Hidupnya ringan saja. Tak pernah sedih, kecewa ataupun duka. Hanya tawa.

“Apakah ia tak pernah kesepian?” katakata bertanya lagi.

Kesepian? Aku balik bertanya. Ia tak mengenal kata itu, kataku. Orang seperti dia, yang akrab dengan alam semesta, tak pernah merasa kesepian, sama sekali. Bahkan angin pun bisa diajaknya bicara. Dan angin ada dimana saja, seperti dirinya. Selalu bersamanya.

“Apakah ia tak rindu rumahnya?” kembali ia bertanya.

Rumah? Rumah yang mana? Saya menjawab tanyanya dengan tanya saya.

Ia menyerahkan tujuan pada kakinya. Kakinya memiliki kemerdekaan untuk membawanya kemana saja. Dan setiap kali kaki itu berhenti, disitulah rumahnya.

Orang seperti dia, yang berkawan erat dengan alam semesta, bisa berumah dimana saja. Kan aku sudah bilang, enak sekali menjadi orang seperti dia. Kemanapun kakinya mengarah, alam semesta ‘kan menjaganya sebagaimana ia menjaga semesta raya. Sebuah simbiosis mutualisme paling indah yang pernah ada.

“Apakah ia telah mendewa?” tanyanya.

Hahahaha. Ia lebih dari dewa. Karena bahkan dewa pun tak seramah ia pada semesta.

“Apakah ia telah meraja?”

Raja? Raja hanya bisa menguasai alam namun tak bisa menjaga semesta.

“Lalu apakah ia sekarang?”

Ia adalah ia. Dahulu ia adalah ia, dan sekarang ia adalah ia, dan selamanya ia akan tetap menjadi dirinya sendiri.

Dan kamu katakata, yang selalu bertanya, yang selalu memberi nama pada apa saja, tak punya cukup harta untuk menamainya. Cukuplah kita mengenalnya sebagai ia. Tanpa perlu campur tangan katakata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline