Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Tekanan tapi Ada Tantangan

Diperbarui: 7 Desember 2023   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

                    Sukoharjo, 15 Maret 1966, Bapak Saidi, merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara yang hidup dengan cita-cita dan harapan yang besar terhadap masa depan. Bapak Saidi, seorang Guru yang telah mengabdikan dirinya sebagai seorang Guru selama lebih dari 20 tahun, sudah melewati banyak sekali suka dan duka selama menjadi seorang tauladan di dunia pendidikan. Banyaknya halangan dan rintangan selama menjadi Guru, tak membuat beliau menjadi putus asa dan menyerah selama melaksanakan pekerjaan yang sangat mulia ini. Tak jarang halangan dan rintangan yang datang untuk menguji kekuatan, Bapak Saidi terbukti telah bisa melewatinya dengan kuat. Perjalanan Bapak Saidi untuk bisa berada di tahap kesuksesan pada saat ini pastinya tidak melewati jalan yang mulus dan mudah. Perjalanan beliau yang sangat berliku, membuatnya menjadi sosok yang menginspirasi untuk generasi saat ini.

Masa Kecil

                    Tahun 1973, hidup di Kampung Jumog, Kelurahan Serut, Kecamatan Nguter yang pada saat itu cukup jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Bapak Saidi memasuki salah satu Sekolah Dasar yang berada di daerah tempat tinggalnya, yaitu Sekolah Dasar Serut 1. 6 tahun terlewati di Sekolah Dasar, Pak Saidi akhirnya lulus pada tahun 1979 dan melanjutkan jenjang pendidikannya ke tahap selanjutnya, yaitu Sekolah Menengah Pertama. Berbeda dari lokasi Sekolah Dasar, lokasi Sekolah Menengah Pertama Pak Saidi yang bernama SMP Nguter 1 yang berada di Kecamatan Nguter terbilang cukup jauh dari lokasi di mana Pak Saidi tinggal, sehingga membuat beliau diharuskan untuk mengayuh sepedanya untuk bisa pergi ke SMP Nguter 1 yang jaraknya terbilang cukup melelahkan.

                    15 kilometer, jarak yang setiap hari harus ditempuh oleh Pak Saidi selama bersekolah menengah pertama. Mengayuh sepeda dengan jarak yang terbilang cukup jauh, tak terasa begitu melelahkan karena dilalui bersama dengan 1 kawan yang kebetulan hanya mereka berdua yang terpilih untuk bisa masuk ke sekolah tersebut yang juga harus melewati perjalanan tersebut untuk bisa menimba ilmu di sekolah menengah pertama. Selama 3 tahun, melewati masa-masa yang sangat indah, dengan kondisi tanah yang tidak memadai, membuat Pak Saidi dan kawannya harus mengangkat sepeda ke atas bahu untuk bisa melewati jalanan yang penuh dengan tanah dan tidak dapat dilewati oleh sepeda. Pengalaman itulah yang menjadi bukti bahwa Pak Saidi tidak mudah menyerah untuk melewati tantangan demi mendapatkan pendidikan yang baik.

Mengubur Cita-Cita

                  Lulus pada sekolah menengah pertama dengan tepat waktu, yaitu tahun 1982, Pak Saidi sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang Guru sedikitpun. Cita-cita Pak Saidi sedari kecil adalah untuk menjadi seorang tentara. Sosok yang gagah, berani dan tak takut apapun, membuat Pak Saidi sedari kecil sangat ingin sekali untuk bisa menjadi salah satu pasukan tentara yang ada di negeri ini. Tak disangka-sangka bahwa cita-cita Pak Saidi yang sangat ingin beliau wujudkan sedari kecil harus dikuburnya dalam-dalam dikarenakan tidak mendapatkan izin dari kedua orang tua. Bagaimanapun orang tua pasti menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya dan menurut orang tua Pak Saidi, tentara bukanlah masa depan yang tepat untuk Pak Saidi gapai. Mendapatkan saran dari sang Ibu atau "Emak" untuk menjadi seorang Guru, akhirnya Pak Saidi melanjutkan pendidikannya dengan menjurus untuk menjadi seorang Guru.

                  Setelah mendapatkan wejangan dari sang Ibu atau "Emak" untuk bisa melanjutkan pendidikannya untuk menjadi seorang Guru, akhirnya Pak Saidi mengubur cita-citanya sedari kecil untuk menjadi Tentara Negara Indonesia dan menggantikan posisi cita-cita tersebut menjadi seorang Guru karena Pak Saidi menganggap bahwa beliau pada saat itu harus menuruti apa perkataan orang tua untuk masa depan beliau.

Bandung, Di Mana Semua Bermula

                 Setelah akhirnya menuruti perkataan sang Ibu, Pak Saidi pun langsung mengganti fokus masa depannya untuk menjadi seorang Guru dengan mempercayakan Kota Bandung sebagai kota di mana beliau akan mengemban ilmu demi mewujudkan cita-citanya sebagai seorang Guru. Sebelum Pak Saidi berpindah ke Kota Bandung, sudah terlebih dahulu ada kedua kakak yang telah merantau di Kota Bandung, sehingga itulah juga yang menjadikan alasan Pak Saidi akhirnya memutuskan untuk berpindah ke Kota bandung dan melanjutkan pendidikannya pada tahun 1982.

                Berpindah ke Kota Bandung, Pak Saidi memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru Swadaya Kota Bandung dan lulus tepat pada waktunya, yaitu pada tahun 1985. Tidak lama setelah lulus dan mendapatkan ijazah Sekolah Pendidikan Guru, Pak Saidi pun melamar pekerjaan di sebuah sekolah dasar yang tempatnya tidak jauh dari pusat kota, yaitu Sekolah Dasar Dwiamanat dan Pak Saidi akhirnya bekerja di Sekolah dasar Dwiamanat sebagai Guru Honorer pada tahun 1986 hingga tahun 2003.

                Selama menjadi Guru Honorer, selain memfokuskan dirinya untuk mengajar, Bapak Saidi juga mengisi waktu luang untuk berjualan jamu tradisional. Pak Saidi menjual jamu tradisional dengan menggunakan sebuah gerobak yang didorongnya melewati berbagai daerah yang tidak jauh dari daerah di mana beliau mengajar di Sekolah Dasar Dwiamanat. Cara Pak Saidi untuk membagi waktu adalah jika sedang terdapat jadwal mengajar di pagi hari, maka Pak Saidi akan berjualan di malam hari, begitupun sebaliknya, jika jadwal mengajar berada di siang hari, maka beliau akan berjualan di pagi atau subuh hari. Bapak Saidi menjalankan dua pekerjaan dalam periode waktu yang sama guna mendapatkan tambahan dana untuk kehidupan sehari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline