"Akulah si tua buta yang setiap pagi menunggu Muhammad di pasar itu!" Demikianlah yang selalu dikatakan seorang pemuda di depan teman-temannya setiap kali mereka berkumpul bersama. Ia begitu terobsesi menjadi sosok lelaki tua buta yang setiap pagi sudah duduk manis di pojokan sebuah pasar di Madinah.
Di sana, di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk berdagang, ia diacuhkan. Tak ada yang benar-benar peduli kepadanya selain seorang lelaki Arab yang mendatanginya secara diam-diam dan juga pergi meninggalkannya secara diam-diam.
Pemuda itu tersenyum. Ia mengingat semua cerita yang pernah didengarnya puluhan tahun yang silam dengan begitu detil. Cerita tentang seorang lelaki tua buta yang ia bayangkan lelaki itu kini adalah dirinya sendiri. Ia membayangkan bagaimana Muhammad datang dengan penuh ketulusan, menyapanya dengan begitu lembut di saat orang lain mungkin memandangnya dengan pandangan yang sinis, dengan umpatan dan cacian yang begitu mengiris.
"Kalau kalian ada di sana saat itu, mungkin kalian akan melihat bahwa ia memiliki senyuman yang tak pernah ada padanannya di dunia ini. Ia mungkin akan menyapa kalian dengan suara lembut melebihi lembutnya udara pagi. Kalian juga akan melihat tatapan bola matanya yang begitu sejuk melampaui butiran air embun di atas daun-daun. Ia begitu sempurna. Sungguh sempurna," katanya.
Teman-temannya tak pernah menanggapi perkataan pemuda itu. Bahkan ia sudah dianggap tidak lagi waras karena selalu membayangkan dan menceritakan hal-hal yang dianggap mereka aneh. Namun, semakin teman-temannya mengacuhkan dirinya, ia justru merasa semakin mirip dengan lelaki tua buta di pojok pasar itu.
Ia tidak sedih, tidak nelangsa, meski tidak pernah dihiraukan. Pada saat ia merasa benar-benar sendiri, ia masih bisa berbahagia karena lelaki Arab bernama Muhammad itu akan datang menjumpainya, membawakannya makanan, mengajaknya berbicara tentang berbagai hal.
"Muhammad...Muhammad! Dunia ini sungguh tidak sedang baik-baik saja. Ketika aku membicarakanmu, pembicaraanku dianggap aneh dan tak bermutu. Ketika aku merindukanmu, banyak orang yang menyebut pikiranku telah dipenuhi khayalan kosong. Terlalu banyak orang yang meremehkan manusia-manusia nestapa sepertiku justru di saat engkau sendiri membela mereka mati-matian. Oh, Muhammad....oh, Abal Qosim!"
Pemuda itu terdiam. Perlahan-lahan butiran air mengalir dari kedua pelupuk matanya. Betapa pun sebelumnya ia telah diperlakukan dengan begitu terhormat oleh lelaki Arab itu, toh ia sendiri membalas perlakuannya dengan sikap dan kata-kata yang tak pantas.
Ia pernah melontarkan kata-kata yang sangat melukai perasaannya meskipun lelaki Arab itu seakan tak pernah peduli dan tetap saja menemuinya setiap pagi, membawakannya sarapan, menyuapinya seakan-akan ia sedang merawat ayahnya sendiri.
Hari berganti malam. Di halaman rumahnya malam itu, si pemuda melihat ke atas langit. Rembulan begitu sempurna di atas sana. Sayup-sayup ia mendengar dari kejauhan sebuah dendang syair yang membuatnya kembali terisak-isak, "Anta syamsun ... anta badrun ... anta nurun fauqa nuurii ..."
Mendengar sayup-sayup suara syair itu, si pemuda melangkah masuk ke dalam rumahnya sambil berguman, "Fakaifa tunkiru hubban ba'da maa syahidat .... bihi 'alaika 'uduulud dam'i was saqomi.."