Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Salman Alfarizy Y.P.

Mahasiswa Teknik Informatika

Mengapa Konseling Traumatik Harus Jadi Prioritas Pasca Bencana di Indonesia?

Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pikiranrakyat.com

Mengapa Konseling Traumatik Harus Jadi Prioritas Pascabencana di Indonesia?

Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana alam di dunia. Berdasarkan laporan World Conference on Disaster Reduction pada tahun 2005, rata-rata sekitar 200 juta orang terkena dampak bencana setiap tahunnya, dengan sebagian besar korban berasal dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ketika bencana melanda, selain kerugian materi, dampak psikologis pada korban sering kali menjadi masalah serius yang tidak dapat diabaikan. Dampak ini mencakup trauma mendalam yang bisa memengaruhi kondisi mental korban dalam jangka panjang. Dalam artikel *Traumatic Counseling Services as an Effort to Improve Resilience of Natural Disaster Victims* oleh Hayatul Khairul Rahmat, dibahas pentingnya layanan konseling traumatik sebagai upaya untuk membantu korban bencana meningkatkan resiliensi mereka. Artikel ini dipublikasikan dalam *Proceeding The 1st International Conference on Islamic Guidance and Counseling 2018* oleh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dalam konteks psikologi, resiliensi atau ketahanan merupakan kemampuan individu untuk pulih dan beradaptasi setelah menghadapi kesulitan atau peristiwa traumatis. Pada korban bencana alam, resiliensi sangat penting untuk mendukung proses pemulihan psikologis mereka. Namun, menurut Rahmat (2018), banyak korban yang tidak mampu mengatasi trauma dengan sendirinya dan memerlukan bantuan konseling yang terstruktur. Konseling traumatik berperan dalam memberikan pemahaman mendalam mengenai trauma yang dialami dan menyediakan strategi untuk mengatasinya. Mengingat frekuensi bencana yang tinggi di Indonesia, layanan ini seharusnya menjadi bagian integral dari strategi penanganan pascabencana yang ada saat ini.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tahun 2010 hingga 2020, Indonesia mengalami lebih dari 22.000 kejadian bencana alam, yang tidak hanya merusak infrastruktur tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa dan kerusakan lingkungan. Dampak psikologis sering kali tidak terlihat, tetapi cukup signifikan untuk menghambat proses pemulihan sosial dan ekonomi para korban. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian lebih terhadap layanan konseling traumatik sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko bencana secara komprehensif di Indonesia.

***

Trauma yang dialami korban bencana alam sering kali meninggalkan bekas psikologis yang mendalam dan dapat berpengaruh seumur hidup. Rahmat (2018) menjelaskan bahwa trauma dapat diidentifikasi dari gejala-gejala seperti ingatan yang terus-menerus tentang kejadian tersebut, perasaan takut dan tidak berdaya, serta kecenderungan untuk menghindari situasi yang mirip dengan bencana. Jika tidak ditangani, trauma ini bisa berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang akan lebih sulit diatasi di kemudian hari. Mengingat bahwa trauma dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, layanan konseling traumatik menjadi sangat penting untuk membantu para korban dalam proses penyembuhan.

Metode konseling traumatik, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini, dirancang untuk membantu korban bencana melalui berbagai tahapan. Dalam pendekatan konseling ini, proses dimulai dari membangun hubungan terapeutik antara konselor dan korban, yang kemudian diikuti dengan pemahaman masalah trauma yang dialami. Di tahap pertengahan, konselor membantu korban mengeksplorasi pengalaman traumatik mereka dan mencari cara untuk menghadapi perasaan yang muncul. Terakhir, tahap penyelesaian ditandai dengan penurunan kecemasan dan perubahan perilaku positif pada klien. Rahmat menekankan bahwa konseling ini tidak hanya membantu korban untuk pulih, tetapi juga mengajarkan keterampilan baru dalam menghadapi trauma di masa depan, sehingga meningkatkan resiliensi mereka.

Pentingnya resiliensi bagi korban bencana alam sudah banyak dibuktikan dalam berbagai studi. Data dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa individu yang memiliki resiliensi tinggi cenderung memiliki peluang 50% lebih besar untuk pulih secara emosional dibandingkan mereka yang tidak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa resiliensi bukan hanya kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan, tetapi juga kemampuan untuk bangkit kembali dan melihat makna positif dari pengalaman yang menyakitkan. Di Indonesia, konsep ini sangat relevan mengingat bahwa negara ini berada di Cincin Api Pasifik, yang rawan terhadap bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Setiap tahun, ribuan orang harus menghadapi dampak psikologis dari bencana tersebut, dan resiliensi menjadi kunci untuk membantu mereka bertahan dan bangkit kembali.

Namun, masih ada banyak tantangan dalam implementasi layanan konseling traumatik di Indonesia. Data dari BNPB pada 2020 menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% dari total korban bencana mendapatkan akses ke layanan kesehatan mental, termasuk konseling. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga profesional dan fasilitas yang memadai, terutama di daerah terpencil. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa layanan ini dapat diakses oleh semua korban bencana, tanpa memandang lokasi dan kondisi ekonomi. Dengan menyediakan layanan konseling traumatik yang memadai, diharapkan korban bencana dapat pulih dengan lebih cepat dan kembali berfungsi secara normal dalam masyarakat.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline