Kudatuli merupakan akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli (1996), atau dikenal juga dengan peristiwa Sabtu Kelabu. Dalam peristiwa ini tercatat 5 orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka, dan 136 orang ditahan. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Tidak dapat dipungkiri, peristiwa Kudatuli memberikan andil terhadap karir politik Megawati Soekarnoputri. Bahkan santer diberitakan, Kudatuli sebenarnya adalah "settingan" Benny Moerdani menjatuhkan Soeharto dan menjadikan Mega sebagai penggantinya. Hal ini terungkap dalam kesaksian penulis Salim Said dalam buku biografinya yang menyebut tentang ide Benny Moerdani untuk menjatuhkan Soeharto dan sosok penggantinya (Megawati).
Terlepas dari benar atau tidaknya, namun pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus tersebut adalah Megawati. Alasannya sederhana, PDIP adalah korban dan Megawati berada ditampuk kekuasaan dalam rentang 1999-2004. Artinya, Megawati sebenarnya punya power untuk mengungkap peristiwa itu secara gamblang.
Namun, isu pelanggaran HAM Kudatuli justru kembali disuarakan PDIP pasca Megawati tak lagi terpilih menjadi presiden. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalahkan petahana (Megawati) di Pilpres 2004, hingga hari ini selalu "diteriaki" kader PDIP sebagai orang yang diduga terlibat dalam peristiwa Kudatuli.
Padahal jika kader PDIP bijak mengurai sejarah, posisi SBY saat terjadinya peristiwa Kudatuli adalah Kasdam. Artinya, SBY tak memiliki peran apa pun dalam mengambil kebijakan. Sementara itu, Sutiyoso yang menjabat sebagai Pangdam kala itu justru dicalonkan menjadi Gubernur DKI oleh Megawati pada tahun 1997.
Selain itu, fakta yang seharusnya dijadikan rujukan berfikir oleh kader-kader PDIP adalah kenyataan bahwa SBY ditunjuk menjadi menteri oleh Megawati. Jika seandainya SBY benar terlibat dalam peristiwa Kudatuli apakah mungkin Megawati memilihnya menjadi menteri? Adakah Megawati yang dianggap Ibu oleh seluruh kader PDIP setega itu?
Maka tak heran, tudingan kader PDIP setiap tahunnya pada SBY ditanggapi sinis oleh banyak pengamat. Seperti tudingan PDIP kepada SBY terkait Kudatuli saat menjelang Pilpres 2019 lalu. Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah menganggap isu ini tak lebih sekedar kepanikan PDIP dan upaya menekan lawan.
Beranjak dari pandangan pengamat tersebut, wajar jika tahun ini SBY kembali diserang habis-habisan oleh kader PDIP. Pasalnya elektabilitas ketua umum dan Partai Demokrat terus meningkat dalam berbagai survei. Citra positif inilah yang menjadi kepanikan PDIP menjelang Pilkada Serentak 2020.
PDIP sadar, nama SBY dan Demokrat masih melekat kuat dibenak masyarakat. Jadi menyerang SBY ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Begitulah agaknya menyikapi isu Kudatuli yang dihembuskan kader PDIP tahun ini. Sampai kapan pun, Kudatuli tetap menjadi "mainan" Mega dan PDIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H