Lihat ke Halaman Asli

Radikalisme Islam di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hiruk pikuk penyebaran film Innocence of Muslims (IoM) di youtube telah menyakiti banyak muslim dan memancing kemarahan luar biasa. Namun, yang tidak boleh dilupakan, banyak kalangan umat beriman lainnya yang juga bersimpati terhadap umat Islam dengan menyebut film itu sampah dan memuakkan. Hillary Clinton mengutuk film itu. Bahkan Barrack Obama secara resmi mewakili negeri Paman Sam menolak isi film tersebut sambil meminimalkan dampak kekerasan di dunia muslim, utamanya Pakistan. Di antara sedikit tokoh yang mencela produser film itu bahkan terdapat Salman Rushdie, penulis kontroversial Ayat-ayat Setan. Anda boleh setuju atau tidak. Itu pilihan Anda.

Sikap saya terhadap film murahan itu jelas. Bahkan, tanpa mengikuti fatwa MUI yang menghukumi haram hukumnya menonton Innocence of Muslims, film ini tidak layak ditonton. Menyedihkan memang melihat upaya-upaya manusia untuk saling menyakiti sesamanya. Atas nama agama, peperangan besar telah terjadi berabad-abad lampau dan masih menyisakan luka bahkan sampai sekarang. Atas nama ras, penindasan terjadi kepada bangsa-bangsa berwarna dan dianggap bodoh. Seperti halnya orang Aborigin dianggap fauna pada masa pendudukan kulit putih di benua Australia.

Sayangnya memang, gelas yang sudah kadung retak, tidak mudah ditempel kembali. Ini mungkin menjelaskan kemarahan berlapis-lapis yang terjadi sebagai efek penayangan film IoM. Di komentar-komentar di youtube bahkan kemarahan ini menjadi bahan olok-olok dan menjadi justifikasi betapa tindakan muslim itu benar-benar serupa dengan imaji si produser: pengikut Muhammad yang tidak toleran, penuh kekerasan, dan siap mati untuk membunuh musuh-musuhnya.

Saya sebenarnya sudah muak dengan imaji-imaji kekerasan yang diputar berulang-ulang. Bahkan serangkaian teror yang terjadi di tanah air seakan semakin melengkapi kesempurnaan teror atas nama agama. Saya tidak setuju dan saya yakin ada banyak muslim di Indonesia yang cinta damai. Jauh melebihi sekelompok kecil yang sering berbuat mengatasnamakan Islam, padahal nyatanya merugikan Islam--dan mungkin banyak muslim lainnya.

Orang-orang yang sering kali dianggap radikal--maaf-maaf kata--bahkan mungkin belum belajar Islam dengan benar. Radic dalam bahasa inggris itu seringkali diartikan sebagai makna pembanding untuk mengartikan filsafat--sebuah cara berpikir yang sampai ke akar-akarnya. Seorang muslim radikal seharusnya memahami agamanya sampai ke akar-akarnya, bukan malah mengutip satu ayat untuk menjustifikasi tindakan teror. Kalau itu yang digunakan namanya menyelewengkan ayat.

Maka radikalisme Islam sebenarnya agak melenceng jauh dari makna aslinya. Termasuk penggunaan kata fundamentalisme. Kedua kata ini, radikal dan fundamental, adalah dua karib yang sering disematkan pada muslim yang berideologi kekerasan. Seolah-olah menunjukkan nilai Islam yang dipahami sampai ke akarnya itu malah akan berujung anarkis dan melegalkan pengambilalihan paksa nyawa orang-orang tak bersalah. Permainan bahasa ini memang sungguh menyesatkan. Sebab, orang yang sungguh-sungguh mempelajari agama salah-salah bisa jadi terduga teroris.

Tak kurang, orang seperti Noam Chomsky juga mengingatkan soal labirin bahasa ini. Dalam kisah yang menarik Chomsky mengutarakan cerita St. Augustine tentang seorang bajak laut yang ditangkap Alexander Agung. Setelah ditangkap, penghulu pembajak itu dibawa menghadap Alexander Agung dan diinterogasi alasannya mengacau lautan. Rupanya, dengan cerdik si pembajak menjawab, "aku ini dengan kapal kecilku merampok kapal lain engkau sebut pembajak, sedangkan engkau merampok negara dan orang-orang menyebutmu kaisar." Beda antara bajingan sama kaisar ternyata cuma ada dalam skala kejahatannya saja. Dialog ini ada dalam buku Noam Chomsky terbitan lama berjudul Menguak Tabir Terorisme Internasional terbitan Mizan.

Kesalahkaprahan bahasa ini memang tidak menguntungkan. Selepas peristiwa 9/11 sudah jamak dipahami bahwa Islamlah dalang, tertuduh, dan biang kerok semua tindakan teror di dunia ini. Kebencian meningkat, dan menutup semua kran dialog. Mungkin agak ironis juga bagaimana mau dialog jika yang dikedepankan wacana dibalas dengan kepalan tangan dan pekik allahu akbar. Lengkaplah sudah nasib agama yang diperjuangkan dengan membawa rahmat bagi semesta.

Saya punya sedikit oleh-oleh sewaktu berkunjung ke negeri sakura. Pada pertemuan dengan beberapa penerbit di Jepang, mereka banyak bertanya tentang penduduk Indonesia yang luar biasa besar, jumlah angkatan kerja muda yang banyak serta pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang cepat, di samping tentu saja termasuk salah satu populasi muslim terbesar di dunia saat ini. Saat teman-temen penerbit bertanya tentang Islam di Indonesia, saya jelaskan bahwa Muslim Indonesia itu mewarisi nilai budaya yang berbeda dari pemeluk Islam di Timur Tengah. Indonesia yang luarbiasa beragam ini berurat-berakar pada rumpun keyakinan purba animisme-dinamisme, Hindu dan Budha yang sejak lama hidup dalam nadi manusia Indonesia. Ini yang membuatnya beda dengan muslim lainnya. Karenanya, menurut saya, setiap muslim itu unik, karena tekstur budaya lokalnya mempengaruhi bagaimana Islam diinterpretasikan. Rasanya ... cuma Indonesia yang mengenalkan wayang sebagai alat dakwah--yang konon dimainkan oleh Sunan Kalijaga. Di Indonesia pula kita mengenal Gereja Kristen Jawa atau Gereja Kristen Pasundan yang sudah mengadaptasi nilai-nilai lokal.

Dengan latar budaya yang demikian kaya, jelas tidak mungkin untuk membuat pemahaman terhadap Islam itu menjadi tunggal, sesuai paham--termasuk agenda budaya di dalamnya--yang berkembang di kawasan Timur Tengah misalnya. Sebagai bangsa kita memiliki kearifan sendiri. Setiap suku bangsa bahkan memiliki falsafah lokalnya sendiri-sendiri di samping lingua-franca yang luar biasa heterogen. Contoh sederhana ya cuma di Indonesia Jilbab atau kerudung dan busana muslim bisa dipadupadankan dengan fashion, melintas akrab di panggung catwalk. Teman istri saya asal Tajikistan bahkan sampai memesan kerudung ala Indonesia yang stylish.

Dalam memahami--saya terpaksa menggunakan kata--radikalisme, ada dua agenda penting. Pertama, setiap umat beriman hendaknya dianjurkan untuk memahami agamanya secara fundamental dan secara radikal agar dengan demikian terhindar dari pemahaman yang cetek dan menyebelah. Kesalahpahaman, atau pemahaman yang keliru seringkali dihasilkan dari ketidaktahuan. Maka peliharalah sikap mencari tahu agar kita menjadi tahu dan berpengetahuan. Orang yang memiliki pengetahuan jarang bersikap bodoh apalagi menunjukkan sikap masa bodoh. Kedua, bersikap hati-hati menerima informasi media. Jangankan berita seputar Islam di dunia internasional, dalam konteks lokal, partai pendukung pemerintah yang baru-baru ini sedang panen koruptor--dan sialnya--tidak punya stasiun televisi dihajar habis-habisan sama media. Anda paham maksud saya bukan?! Media massa, meskipun tidak semua, sering kali tergoda mencari sensasi, dan berita yang memunculkan sensasi luar biasa besar lebih berguna dibandingkan berita yang faktual tapi sepi tanggapan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline