Secara praktis, dalam retorika dan dakwah, penting untuk menerapkan etika. Hal-hal yang positif harus dijunjung tinggi, sementara hal-hal negatif harus dihindari. Konsep baik dan buruk dalam hal ini berlaku secara timbal balik, baik bagi pembicara (orator dan dai) maupun pendengar (audiens dan mad'u).
Secara umum, adab dalam Islam merujuk pada norma-norma tata krama yang diperoleh dari Al-Qur'an. Etika ini menjadi landasan untuk menjalin komunikasi yang dialogis antara sesama manusia. Dalam konteks Islam, adab ditempatkan di atas pengetahuan dalam hierarki nilai.
Dalam komunikasi Islam, seperti dakwah, nilai-nilai sopan santun, keramahan, dan kesantunan budi pekerti ditekankan. Komunikasi Islam tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada prosesnya. Oleh karena itu, pentingnya adab dalam retorika dakwah menjadi semakin nyata.
Perlu dicatat bahwa dalam Islam, adab dan akhlak memiliki perbedaan. Adab merupakan aturan yang bersifat mengikat, sementara akhlak adalah respons batin yang spontan. Dalam konteks retorika dakwah, lebih tepat untuk menekankan adab karena sifatnya yang mengikat.
Sementara itu, akhlak atau respons spontan dari orator atau dai muncul secara alami saat berbicara atau memberikan ceramah. Respons tersebut tidak muncul karena keterikatan pada aturan agama atau budaya, melainkan sebagai respon batin yang dapat dipelajari dan ditingkatkan.