Lihat ke Halaman Asli

Mengadopsi Anak

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika kita ulik realita zaman ini, kita akan banyak mengetahui tentang maraknya pengapdosian anak. kegiatan mengadopsi ini tidak hanya dilakukan bagi para orang tua mandul, tetapi ada juga karena adanya faktor usia, gay, dan lain-lain.

Dari pernyataan diatas, timbulah pertanyaan, baikkah pengapdosian ini dilakukan bagi anak?, bagaimana cara memberitahu anak bahwa dia anak adopsi? Dan kapankah waktu yang tepat?. Petanyaan-pertanyaan ini, kerap kali menjadi perbincangan bagi para orang tua, terlebih bagaimana cara mereka memberi tau bahwa anak mereka adalah anak adopsi.

Jika anak yang kita adopsi adalah anak laki-laki, maka mungkin secara agama tidak ada masalah, sebab laki-laki ketika ia sudah dewasa dia bisa menikah tanpa wali yang sah, tetapi jika perempuan? Maka, adanya pemberitahuan kepada si anak merupakan hal yang sangat penting. Tidak itu saja, patut dikhawatirkan, perkawinan sedarah jika kita sebagai orang tua adoptif tidak memberi tau anak adopsi kita.

Mengadopsi anak mempunyai tantangan tersendiri. Di samping masalah pengasuhan, orang tua adoptif harus berhadapan dengan mengadaptasikan anak ke dalam keluarga barunya. Anak yang diadopsi pada masa bayi lebih dapat beradaptasi dengan baik dibandingkan anak yang diadopsi pada usia tengah, sebab mereka telah beradaptasi dan berinteraksi sejak lahir, sejak ia belum mengerti apapun. Menjelaskan pengadopsian kepada si anak dapat membantu anak mengembangkan perasaan diri yang sehat, akan tetapi, kapankah kita menjelaskan perkara ini?

Berbagi pengalaman, sejatinya menjelaskan perkara ini hendaknya sedari ia kecil, sehingga ketika ia dewasa tidak menjadikan konflik batin dalam hatinya, terlebih jika ia sudah dewasa, sifat egonya lebih besar dibanding ketika ia masih kecil. Ketika kita menjelaskan, hendaknya kita berhati-hati, dan tidak secara langsung menjelaskan, tetapi tetap menghubungkan ia dengan orang tua aslinya (silaturrahmi). Kemudian, sedikit demi sedikit kita jelaskan padanya. Jangan halangi anak untuk berinteraksi dengan orang tua aslinya, tetapi jika kita takut si anak kembali pada orang tua aslinya, maka kita sebagai orang tua adoptif membuat batasan-batasan atau perjanjian degan orang tua aslinya. Jika kita takut ia akan kembali pada masa dewasa, maka hendaknya kita fahami, karena sejatinya segalanya akan kembali kepada asalnya.

Semoga Bermanfaat

Salmana Billah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline