Jurnalis menelusuri tentang tanah Papua yang di perebutkan, selama liputan tidak lah semudah itu untuk seorang jurnalis sampai mobil tim jurnalis di beri bahan peledak yang di lempar ke arah kantor di parkiran mobil pada dini hari waktu indonesia timur oleh 2 orang misterius yang masih di telusuri.
PT. Sinarmas memiliki tanah yang luas di Papua pedalaman dengan seluas 131 hektar. Namun, tidak semenyenangkan itu karna warga sudah 30 tahun hidup berdampingan dengan perusahaan kepala sawit,perusahaan wajib menyisihkan 20% tanah untuk plasma. Jurnalis bertanya kepada perwakilan suku ini tentang keuntungan nya. "plasma sudah ada namun jangan kan keuntungan dari hasil kerjasama,namun warga mau gamau harus konflik dengan perusahaan". Bukan hanya itu yang membuat warga kecewa.
Jurnalis juga di ajak melihat situasi lahan yang dimiliki, apakah sawit seluas ini menciptakan lapangan ekonomi untuk warga? jawabannya adalah ya dan tidak, sebagaina warga lokal bekerja sebagai buruh namun tidak juga karna banyak buruh yang di datanglan dari luar papua, setelah keluar dari hutan dan buruh mereka bisa di pecat kapan saja oleh perusahaan. Ada yang di pecat karna memakai mobil perusahaan tanpa izin karna mengantarkan istrinya melahirkan. Kini ia mengangur meski harus tetap menghidupi keluarga, perusahaan sawit itu memakai UU cipta kerja dengan pesangon lebih rendah dari sebelumnya.
Tak hanya di Papua, jurnalis menelusuri ke Bali dengan konflik sosial yang ada. Dimulai dari isu lingkungan,tenaga kerja dan pariwisata, bahkan adanya konflik turis dengan warga lokal terjadi. Adanya pembangunan yang berlebihan dan perubahan lahan pertanian menjadi club juga properti yang mahal membuat warga lokal juga terjebak mahalnya harga tanah. Akhirnya di adakan nya Arisan "Dua Are" agar warga tetap memiliki lahan tanah juga melawan adanya kapitalis.
Lokasi Bali selatan,Canggu.
Jurnalis membandingkan bagaimana saat liputan di Papua dan Bali, Bung alit sebagai pengusaha yang aktif dalam gerakan sosial berinisiatif mengembangkan gerakan "Fair Trade" sebuah upaya inisiasi untuk menghindari ketimpangan pembagian upah kerja antara pengrajin dan pembeli. "50% uang muka begitu barang sampai kita bayar cash,sebagai seorang fair trade menghormati pengrajin dan menghormati pembayaran ini yang jarang terjadi." Mitra bali menetapkan dengan skema pembayaran yang layak dan bisa hingga ke pasar nasional.
Jurnalis dan tim juga ikut menikmati keindahan Bali dan melihat ritual upacara nya bahkan singgah pengetahuan lokal di museum lontar, pengalaman meliput dan merekam pendidikan Bali adalah tujuan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H