Lihat ke Halaman Asli

Salman AlFaritsi

Mahasiswa UIN BUKITTINGGI

Problematika Penggunaan Kemenyan di Jorong Koto Pauh, Nagari Kuranji Hilir

Diperbarui: 27 November 2023   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memegang teguh tradisi dan budaya terdahulu hingga saat sekarang. Masih kentalnya tradisi-tradisi atau budaya leluhur dari daerah satu dan daerah lainnya, walaupun Indonesia dikatakan sebagai negara yang berkembang dan cukup maju dengan teknologi yang semakin berkembang mengikuti zaman. Hal ini hanya berlaku pada wilayah-wilayah perkotaan saja, tidak pada wilayah terpencil dan pelosok. Penulis mengambil sebuah contoh dari wilayah di Jorong Koto Pauh, Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman Sumbar. Yang mana pada wilayah ini belum terisolir dengan teknologi dan berbagai perkembangan zaman lainnya, bahkan untuk akses internet pun cukup sulit.

Dalam hal ini wilayah Jorong Koto Pauh merupakan kampung yang cukup terpencil di perbukitan, dengan suasana perkampungan yang masih kental akan tradisi atau budaya zaman dahulu, contohnya saja dalam penggunaan kemenyan. Kemenyan merupakan sebuah benda yang berbentuk kristal yang memiliki aroma wewangian, bentuk yang kecil dan memiliki jumlah yang cukup banyak. Kemenyan ini biasa digunakan oleh masyarakat sekitar dalam berbagai acara seperti, tahlilan, acara doa makan bersama atau dalam bahasa Minangkabau disebut Mendoa, dan masih banyak acara-acara yang menggunakan kemenyan tersebut. Disisi lain masyarakat yang menggunakan kemenyan memiliki tujuan terpenuhinya syarat dan mereka percaya ada satu acara yang lebih sakral dalam penggunaan kemenyan dalam suatu acara seperti acara Mendoa.

Dalam penggunaannya kemenyan harus dibakar terlebih dahulu sebelum acara dimulai, dan apabila kemenyan tidak ada maka acara tersebut tidak bisa dilaksanakan. Mereka percaya bahwa dengan adanya kemenyan yang dibakar dan menghasilkan asap, maka dari doa yang diucapkan akan lebih cepat sampainya dan juga dari asap kemenyan tersebut juga bisa mendatangkan arwah-arwah para leluhur sebagai bentuk restu dari para leluhur dalam keberlangsungan dan kelancaran acara.

Disini lain tidak semua masyarakat yang setuju akan hal itu, yang terlalu memprioritaskan penggunaan kemenyan dalam berbagai acara. Terlebih lagi pada saat ada pendatang baru atau pun saat ada mahasiswa yang datang untuk melaksanakan KKN, pasti miris dan merasa prihatin melihat akan hal itu, mereka yang sudah mengenal dan merasakan perkembangan zaman, yang jarang menemukan hal seperti itu dan lebih banyak menggunakan penalaran yang bersifat ilmiah, sebagaimana di zaman sekarang segala hal yang terjadi dapat dipercaya jikalau ada bukti dan data yang mendukung akan hal itu.

Memang benar kalau yang mereka lakukan sebagai bentuk pelestarian tradisi dan budaya, tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana perkembangan zaman, menilai apa yang mereka lakukan, dapat di ibaratkan suasana perkampungan tersebut masih terbilang sangat terpencil atau perkampungan-perkampungan zaman dulu, dan juga apa yang mereka lakukan menyalahi aturan agama islam, karena pada dasarnya hampir keseluruhan masyarakat merupakan penganut agama islam, akan tetapi masih terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama para leluhur terdahulu. Bahkan jika ada yang menegur atau berniat untuk memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan, selalu mendapatkan penolakan dan menganggap apa yang mereka lakukan itu sudah benar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut erat kaitannya dengan pernyataan yang ungkapan oleh Silfia Hanani yaitu "Tahap pemikiran teologis merupakan tahap pertama bagi manusia dimana kerangka pikirnya menerima kepercayaan begitu adanya." Mengapa bisa demikian ? karena yang kita ketahui dari penggunaan kemenyan tersebut hanya digunakan tanpa ada hal yang mendasar dan terlalu fanatik akan hal-hal yang supranatural dan mistis. Walaupun dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi, yang mana sebagian masyarakat tidak percaya lagi akan hal supranatural, berbeda halnya dengan masyarakat kampung jorong Koto Pauh ini.

Berkaitan yang disampaikan oleh Silfia Hanani, bahwasanya Auguste Comte mengartikan agama sebagai sistem pengetahuan, dimana agama merupakan sistem pengetahuan awal dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmiah dalam peradaban manusia, akhirnya Auguste Comte mengajukan dan menjelaskan ada tiga hukum atau teori hukum tiga tahap dalam perubahan pemikiran manusia diantaranya ada tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positifis.

Secara spesifik dari penggunaan kemenyan tersebut termasuk kepada tahap teologis dan juga termasuk ke dalam tahap yang kedua yaitu tahap metafisis. Tahap metafisis merupakan tahapan yang sudah mulai adanya penggunaan akal pikiran atau pemikiran ilmiah terhadap apa yang terjadi, akan tetapi dari tahapan ini tidak sepenuhnya penggunaan penalaran atau pemikiran manusia melainkan masih ada juga hal-hal yang berbau supranatural dan mistis, hanya saja tahapan ini menyandingkan kedua tipe perubahan Pemikiran manusia. Dan juga dapat disimpulkan dari penggunaan kemenyan tersebut adanya proses perpindahan pemikiran manusia dari tahap teologis kepada tahap metafisis dalam perkembangan zaman saat sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline