Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang berperan penting dalam upaya peningkatan kesehatan di suatu daerah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 340/MENKES/PER/III/2010, rumah sakit (RS) merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Fungsi strategis dan kompleks ini terus memacu RS untuk senantiasa menjaga stabilitas organisasinya, berkembang dan meningkatkan kinerjanya.
Perkembangan teknologi kesehatan, informasi dan gaya hidup secara tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan. Maka tidak heran, jika belakangan ini & ke depannya nanti RS semakin “diminati” oleh masyarakat, dimana seseorang mengunjungi RS tidak hanya karena sedang sakit, namun bisa juga karena keinginan untuk mendapatkan pelayanan tertentu seperti kosmetik.
Di sisi lain, penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan program Kartu Indonesia Sehat (KIS), dengan kepesertaan yang secara bertahap terus bertambah, secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah kunjungan ke RS. Sebagai PPK II yang melayani rujukan dari PPK I, diharapkan RS dapat memberikan pelayanan kesehatan yang “cost efectif” namun berkualitas.
Lalu, sudah siapkan fasilitas pelayanan kesehatan (RS) kita? Bagaimana dengan SDM Kesehatannya?
Sebagai insitusi padat karya, RS mempunyai tantangan tersendiri dalam upaya mengembangkan kinerja pelayanan kesehatan. Pelayanan yang komprehensif membutuhkan Sumber Daya Manusia yang beragam baik medis maupun non medis. Menjawab tantangan kebutuhan pelanggan yang semakin kompleks di tengah pengaruh kebijakan yang berlaku, RS sudah seharusnya bergerak menuju sarana pelayanan kesehatan yang mengutamakan kepuasan pelanggan. Dengan demikian RS harus memberikan pelayanan terbaik yang tentu saja tidak lepas dari Sumber Daya Manusia sebagi ujung tombak dari pelayanan jasa tersebut.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2013 terlihat adanya pertumbuhan jumlah RS sekitar 7%. Hingga akhir Tahun 2013, tercatat 2.228 Rumah sakit yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari RS Publik 1.562 dan RS Privat 666. Berdasarkan klasifikasinya, proporsi RS tersebut terdiri dari: RS kelas A 2,56%; RS Kelas B 13,15%; RS Kelas C 33,26%; RS Kelas D 23,20% dan RS yang belum ditetapkan statusnya sebanyak 27,83%. Sedangkan menurut jenis pelayanan, terdapat 1.725 RS Umum dan 503 RS Khusus. Diharapkan, ke depannya terjadi pertumbuhan yang lebih pesat baik dari segi jumlah maupun dari segi klasifikasi RS.
Adapun rasio tempat tidur (TT) di RS terhadap jumlah penduduk, jika dilihat secara nasional pada tahun 2013 memang terlihat bahwa jumlah tempat tidur telah mencukupi yaitu 1,12 TT per 1.000 penduduk. Namun ternyata pada tingkat provinsi terdapat 13 provinsi dengan rasio kurang dari 1 TT per 1.000 penduduk. Rasio tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2,92, sedangkan rasio terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 0,65.
Berdasarkan data BPPSDM Kesehatan tanggal 23 Desember 2014, jumlah SDM Kesehatan yang didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) adalah: dokter spesialis 38.866 orang; dokter umum 42.265 orang; dokter gigi 13.092 orang; perawat 295.508 orang; bidan 136.606 orang; farmasi 46.336 orang dan tenaga kesehatan lainnya 125.349 orang. Namun kendalanya adalah SDM Kesehatan tersebut tersebar tidak merata, sehingga masih banyak fasyankes yag minim tenaga kesehatan. Sebagian besar tersebar di wilayah Jawa dan Bali yaitu 48,87%. Dan sisanya di wilayah sumatera 26,3%, Sulawesi 9,48%; Kalimantan 7,5%; Kep. Nusa Tenggara 4,01%; Papua 2,06% dan Kep. Maluku 1,79%.
Khusus untuk RS, Berdasarkan data yang dirilis dari Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013 (Kemkes RI, 2014) sumber daya manusia kesehatan yang bertugas di rumah sakit pada tahun 2013 berjumlah 458.340 orang, dengan rincian 319.707 tenaga kesehatan dan 138.633 tenaga non kesehatan. Dari seluruh jumlah tenaga kesehatan, dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit sebanyak 36.081 orang dengan rata-rata 16 dokter spesialis per rumah sakit; dokter umum sebanyak 21.283 orang dengan rata-rata 10 dokter umum per rumah sakit dan dokter gigi sebanyak 4.295 orang dengan rata-rata 2 dokter gigi per rumah sakit. Perawat yang bertugas di rumah sakit sebanyak 164.309 orang dengan rata-rata 74 perawat per rumah sakit dan bidan sebanyak 31.254 orang dengan rata-rata 14 bidan per rumah sakit.
Jika ditelaah lagi sesuai dengan kebutuhan tenaga kesehatan minimal seperti yang diatur dalam PMK No. 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi RS, maka jumlah SDM Kesehatan yang diberdayakan di rumah sakit masih belum mencukupi. Misalnya jumlah tenaga perawat. RS kelas A dengan kapasitas minimal 400TT, kebutuhan perawat:TT adalah 1:1. RS kelas B dengan kapasitas minimal 200TT, kebutuhan perawat:TT adalah 1:1. RS Kelas C dengan kapasitas minimal 100TT, kebutuhan perawat:TT adalah 2:3 dan RS Kelas D dengan kapasitas minimal 50TT, kebutuhan perawat:TT adalah 2:3. Maka jika dihitung untuk RS Kelas A, B, C dan D yang ada, dengan jumlah TT minimal, dibutuhkan 148.033 perawat. Kebutuhan ini belum memperhitungkan jumlah TT yang riil karena sebagian besar RS memiliki kapasitas TT lebih dari jumlah minimal yang dipersyaratkan. Selain jumlah tersebut juga dibutuhkan SDM perawat untuk unit layanan lain misalnya rawat jalan. Ditambah lagi RS yang statusnya belum ditetapkan sebanyak + 620 RS. Jika dirata-ratakan RS tersebut kelas C, maka dibutuhkan sekitar 41.333 perawat.
Demikian juga dengan ketersediaan dokter spesialis dan dokter umum. Evidence di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak RS terutama di daerah yang kekurangan SDM kesehatan khususnya dokter spesialis dan dokter umum. Menyiasatinya, terutama untuk dokter spesialis, sebagian rumah sakit menerapkan sistem part time sehingga banyak dokter spesialis yang berpraktik di beberapa RS yang tentu saja mempengaruhi kualitas pelayanan.
Kurangnya SDM Kesehatan di RS, bukanlah semata-mata karena jumlah lulusan bidang pendidikan bersangkutan yang terbatas. Faktor lain yang teramati adalah kurangnya minat SDM tersebut untuk bekerja di rumah sakit bahkan memilih “job” lain seperti peneliti, dosen, dll. Selain itu, penyebaran SDM tidak merata dimana banyak SDM kesehatan yang lebih memilih berkompetisi di perkotaan dibandingkan mengabdi di daerah.
Menyikapi hal di atas, pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di RS, sudah selayaknya menjadi perhatian bagi pemerintah. Saran Saya: perlu diupayakan lagi bagaimana meningkatkan jumlah lulusan, seperti pemberian beasiswa pendidikan sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan. Selain itu motivasi bagi seorang SDM Kesehatan untuk mengabdi di masyarakat dan institusi pelayanan kesehatan dapat ditanamkan sejak masa pendidikan. Yang tidak kalah penting adalah agar dipertimbangkan pemberian insentif yang sesuai supaya seorang praktisi kesehatan “betah” mengabdi di daerah terutama wilayah terpencil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H