SURABAYA - Sejak 2018, Presiden Jokowi Widodo menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional, mengingat wayang telah menjadi identitas budaya Indonesia yang diakui UNESCO pada 7 November 2003 lalu. Oleh karenanya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menghadirkan Pekan Wayang Jawa Timur 2023. Ada serangkaian agenda terjadwal selama pekan perwayangan yang digelar di UPT Taman Budaya Jawa Timur yang dimulai sejak 5 November hingga 9 November 2023.
Pagelaran Wayang Orang menampilkan lakon ‘Wahyu Cakraningrat’ menjadi sajian utama pada puncak Hari Wayang Nasional 2023, yang dibawakan oleh Wayang Orang Patrialoka Blitar, dengan Yohanes Erfien sebagai sutradara, melibatkan 60 seniman dalam pertunjukkan, ada pengrawit, penari, waranggono, dan sebagainya. Tarian anggun khas Blitar yang diiringi musik lembut gamelan, Tari Bedaya Puspa Dahana, menjadi menu pembuka manis sebelum pagelaran Wayang Orang penuh drama, gelak tawa, kesal, dan emosi lainnya.
Memilih lakon drama ‘Wahyu Cakraningrat’ bukan tanpa alasan, mengingat sebentar lagi menghadapi pesta demokrasi Indonesia di 2024 mendatang. Berkisah tentang Para Raja dalam jagad pewayangan dengan hingar-bingar bersaing untuk merebut ‘Wahyu Cakraningrat’, konon memberikan kekuasaan atas seluruh wilayah. Wahyu diinterpretasikan sebagai pemberian Ilahi yang menyoroti keutamaan, ketekunan, dan tekad manusia untuk berusaha mencapai nilai-nilai yang mulia. Masa kini, mencari wahyu dipahami sebagai upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh orang-orang terpilih dalam mengejar aspirasi yang mulia, berjuang demi suatu nilai yang dapat dijadikan contoh, atau ingin menjadi pemegang otoritas tertinggi.
Raden Samba, yang mewarisi pengetahuan bijaksana dari Prabu Kresna, berusaha untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat dengan berbagai strategi yang cerdik dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Raden Lesmana Mandrakumara memiliki pendekatan yang berbeda, yang lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mendapatkan wahyu tersebut, asalkan prosesnya tetap fair dan sportif.
Namun, meraih ‘wahyu’ yang dianggap sebagai anugerah dewa yang dikatakan tidaklah mudah, karena hanya diberikan kepada individu yang terpilih. Persaingan, strategi, dan penaklukan bukanlah satu-satunya jalan untuk memperolehnya. ‘Wahyu Cakraningrat’ merupakan simbol perjuangan pemimpin dalam upaya meraihnya. Dalam tahun politik seperti ini, pementasan ‘Wahyu Cakraningrat’ sangat relevan. Dalam situasi tersebut, perlombaan kekuasaan harus dilakukan dengan penuh etika, keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan, dan kesadaran untuk memprioritaskan kerjasama.
“Lek alase ijo royo-royo (jika hutannya hijau segar), isine mung adem ayem (isinya hanya ada kedamaian), negarane tentrem (negara tentram), ngadepi taun patlikur (2024) (menghadapi tahun duapuluh empat), panggah adem tentrem (akan tetap adem tentram), ora sing congkrah rebutan kursi, (tidak ada) yang rusuh, rebutan kursi.” Adalah dialog dari Eyangnya Para Pandhawa dan Kurawa pada pementasan, yang menyiratkan pesan moral dalam memilih pemimpin selanjutnya. Sudah menjadi rahasia umum, ketika pemilihan umum tiba, banyak kericuhan dan saling melontarkan kebencian terjadi. Aula besar yang berisi setidaknya lebih dari 210 pengunjung, bertepuk tangan dengan riuh, tanda setuju dengan dialog yang dilontarkan.
Lakon drama wayang orang ‘Wahyu Cakraningrat’ menjadi media untuk menyampaikan pesan, bahwa sangat penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan, bahkan jika terdapat perbedaan dalam preferensi politik. Karena jika persatuan dan kesatuan terganggu, potensi bonus demografi yang diharapkan bisa digunakan untuk kemajuan Indonesia akan terancam, sulit terwujud. Hal ini tentu saja perlu dihindari jika masih ingin mewujudkan cita-cita bersama, Indonesia Emas 2045.
Reporter: Salma Dhiya Ulhaq
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H