Lihat ke Halaman Asli

Salma Asti

Mahasiswi

Stereotip dan Stigma Gen Z Membutakan Mereka yang Underprivileged

Diperbarui: 5 Januari 2023   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa yang muncul di benak masyarakat ketika ditanyakan karakteristik Gen Z? Anak muda hebat, the digital native, the happiest generation. Persepsi tersebut akhirnya mengilhami masyarakat bahwa anak muda zaman sekarang peluang memiliki masa depan yang cerah lebih besar dan mudah dibandingkan dengan generasi sebelumnya. 

Gen Z kerap kali dipandang sebagai generasi yang malas, tidak sopan, individualis, dan manja karena terlahir di era perkembangan teknologi yang memudahkan segalanya. "Anak zaman sekarang mah gampang kalau cari kerja, lewat medsos juga dapet!" kata mereka generasi sebelumnya. Gen Z selalu digambarkan sebagai anak muda yang serba instan, suka  foya-foya, berkuliah di kampus prestisius, bekerja di perusahaan start-up atau bahkan memiliki bisnis sendiri. Pada akhirnya terbentuklah imaji generasi sebelumnya maupun generasi Z sendiri mengenai standar anak muda yang sukses dan mapan. 

Stereotip dan stigma yang melekat pada gen Z yang sukses tersebut meluputkan perhatian masyarakat bahwa tidak semua gen Z memiliki privilege yang sama. Kenyataannya, keberadaan underprivileged Gen Z lebih umum dibandingkan privileged Gen Z bahkan menjadi salah satu kategori usia yang paling banyak menganggur, jumlahnya mencapai 3,8 juta jiwa. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran usia 20-24 tahun di Indonesia per Februari 2021 mencapai 17,66% atau meningkat hingga 3,36% dibandingkan Februari 2020. 

Mereka yang bekerja juga belum tentu mendapatkan upah yang maksimal. Upah rata-rata yang diperoleh masih sekitar 1,5 - 2,1 juta per bulan. Jika dibandingkan dengan UMR Ibu Kota yang dimana mencapai 4 juta rasanya masih sangat ketimpang. Padahal zaman sekarang sedang berada di fase bonus demografi yang dimana populasi dominan ada di kelompok usia produktif. Semakin banyak orang bekerja seharusnya semakin meningkat juga perekonomian tapi sayangnya masih tetap terjadi ketimpangan.

Hasil riset SMERU Institute 2019 menunjukkan bahwa Gen Z yang berasal dari keluarga miskin memiliki pendapatan 87% lebih rendah dari pada mereka yang berasall dari keluarga mampu. Gen Z yang berasal dari keluarga tidak mampu pun lebih berpotensi terjebak dalam lingkaran kemiskinan ekstrem atau kemiskinan struktural. Mereka yang berasal dari kehidupan di bawah garis kemiskinan tentu tidak semudah mereka yang hidupnya berkecukupan. Pendidikan seadanya bahkan tidak sama sekali atau mereka yang terjebak dalam pernikahan dini. 

Bagi orang Indonesia, mampu berkuliah saja sudah menjadi sebuah privilege. Data BPS juga mengatakan bahwa 21 dari 100 Gen Z berusia 16-18 tahun tidak bersekolah. Masalah kemiskinan struktural harusnya bisa menyadarkan dunia untuk tidak sekedar menyetuskan kalimat "kurang kerja keras" kepada mereka yang pengangguran dan memiliki upah rendah. 

Stereotip dan stigma Gen Z yang diambil dari media sosial dengan kesuksesan karir, lulus dari kampus favorit, selalu up to date dengan tren teknologi canggih dan sebagainya dapat dikatakan kurang representatif setelah melihat kenyataannya. Memang tidak sedikit juga Gen Z yang memiliki karir dan masa depan yang cerah yang juga kebanyakan berasal dari kaum muda urban kelas menengah ke atas. 

Perlu diperhatikan kembali bahwa kenyataannya underprivileged Gen Z lebih banyak jumlahnya dan berpotensi terjebak dalam kemiskinan struktural. Permasalahan struktural seperti ini tidak bisa diselesaikan secara individu saja, perlu adanya bantuan dari para pemangku kebijakan untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut. Namun, paling tidak masyarakat bisa membantu dengan mengakui dan sadar akan keberadaan underprivileged Gen Z ini. 

Fakta-fakta diatas dipaparkan bukan berarti mereka tidak memiliki peluang masa depan yang cerah justru diharapkan menjadi sebuah pengingat bahwa sebuah sistem pemerintahan yang membiarkan masyarakatnya bertahan hidup sendiri tanpa ada jaminan hidup yang layak akhirnya akan memperkeruh fenomena ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline