Lihat ke Halaman Asli

Salma Asti

Mahasiswi

Emotional Abuse, Kekerasan Tak Kasat Mata

Diperbarui: 3 Januari 2023   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, Bunga, penyintas kekerasan seksual revenge porn. (sumber: Davies Surya/BBC Indonesia via kompas.com)

"Halah! Istilah dari mana lagi sih itu?", kata mereka yang masih awam mengenai istilah emotional abuse atau pelecehan mental. Istilah tersebut masih sangat awam di tengah masyarakat karena tidak terlihat wujud nyatanya. 

Namun, seseorang dapat terlihat jika ia merupakan korban dari emotional abuse dengan cara bagaimana dirinya bersikap dengan orang lain. 

Menurut Moffat dikutip oleh Wulandari (2018) kekerasan emosional dapat diartikan sebagai perilaku atau sikap yang dapat mengganggu perkembangan sosial ataupun kesehatan mental seseorang. 

Selain itu, menurut Beverly Engel, penulis The Emotionally Abusive Relationship, emotional abuse didefinisikan sebagai sikap nonfisik yang dilakukan untuk mengendalikan, menghukum, atau mengisolasi orang lain dengan penghinaan atau berbagai bentuk ancaman.

Tindak kekerasan ini sering ditemukan dalam suatu hubungan yang toxic dan memiliki pola yang berulang serta konsisten. 

Misalnya, ketika kamu tidak melakukan hal sesuai kemauan sang pasangan, pasanganmu akan melakukan penghinaan, mencari-cari cara untuk meyakinkan bahwa kamu merupakan unsur masalahnya, memojokkan kamu dengan berbagai ancaman hingga akhirnya tidak dapat membela diri dan berakhir mengalah. 

Tidak sampai di situ, rasanya tidak lengkap bagi pasanganmu apabila tidak menambahkan unsur manipulatif. 

Setelah kamu mengalah, si manipulator pun meminta maaf dan meyakinkan kamu bahwa dirinya melakukan hal tersebut sebagai wujud kepedulian serta kasih sayang. Hal tersebut pun terus berulang di masalah-masalah berikutnya. 

Pada akhirnya kamu yang menjadi korban emotional abuse tersebut kehilangan kepercayaan diri, tidak bisa memperjuangkan kebenaran untuk diri sendiri, selalu dihantui dengan rasa ketakutan hingga akhirnya sulit untuk keluar dari hubungan toxic tersebut.

Mayoritas menganggap kekerasan yang tidak menimbulkan kecacatan pada fisik masih dapat ditolerir. Banyak korban yang takut dianggap terlalu membawa perasaan atau baper karena apa yang dilakukan pasangannya hanya sebatas kekerasan verbal yang tidak melukai fisik.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline