Penghujung September 2021 kemarin, tepatnya hari Kamis pada detik-detik berakhirnya jam pembelajaran Ppkn, guru yang memandu pembelajaran memohon izin. Beliau bilang, ada sesuatu yang beliau harus sampaikan. Pada intinya, seluruh murid ditugaskan untuk membuat sebuah hal yang saya sendiri asing dengarnya, Eco Enzyme. Beliau tunjukkan contoh media dari hal tersebut yang telah dibuat anak dari beliau.
Bingung? Tentu.
"Apa korelasi nya pelajaran ini dengan benda itu?"
"Belajar Ppkn rasa Biokimia"
"Apa sih.. gimana-gimana?"
Kira-kira begitu tanggapan seisi kelas saat itu. Bagaimana tidak? Kita betul-betul belum akrab dengan hal yang beliau sebut Eco Enzyme itu. Bahkan belum tahu fungsi sungguhnya apa. Tugas bertambah satu sejak saat itu. Tugas yang bukan terlalu ringan juga, karena harus tersimpan baik selama tiga bulan kedepan. Tapi, saya temukan banyak hal baik dari tugas ini. Bahwa Eco Enzyme dapat lindungi negeri kita, Indonesia.
Jadi, apasih itu Eco Enzyme?
Dilansir dari Warta DLH, menurut Atiek Mariati yang juga merupakan relawan Eco Enzyme dari Kapanewon Kalibawang, menerangkan bahwa Eco Enzyme merupakan cairan alam serbaguna yang merupakan hasil fermentasi dari gula, sisa kulit buah/sayuran dan air.
Eco Enzyme dikembangkan pertama kali oleh Dr. Rosukon Poompanvong dari Thailand yang melakukan penelitian sejak tahun 1980-an dan kemudian dikembangkan secara lebih luas oleh Dr. Joean Oon, dari Malaysia.
Dilansir dari sumber media lain yaitu CNN Indonesia, gagasan Dr. Poompanvong adalah untuk mengolah enzim dari sampah-sampah organik yang biasanya kita buang ke tempat sampah menjadi pembersih organik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Eco Enzyme merupakan cairan serbaguna bagi alam yang dihasilkan dari pengendapan sari-sari atau fermentasi sampah organik (disini saya pakai kulit buah) yang dicampur gula dan air selama tiga bulan lamanya.