LGBT yang dikenal secara ilmiah sebagai homoseksualitas, berasal dari bahasa Yunani "homoios" yang berarti "sama," dan bahasa Latin "sexus" yang berarti "jenis kelamin." Istilah ini mengacu pada berbagai macam kecenderungan seksual terhadap orang dengan jenis kelamin yang sama. Namun, istilah ini sering dianggap terlalu menekankan aspek seksual dalam arti yang sempit, sehingga ada rekomendasi untuk menggunakan istilah "homophili," yang berasal dari kata Yunani "philein" yang berarti "mencintai."
Secara umum, homophil adalah seseorang (baik pria maupun wanita, tua atau muda) yang tertarik atau jatuh cinta kepada orang dengan jenis kelamin yang sama, dengan tujuan untuk menjalin persatuan hidup, baik sementara maupun selamanya. Dalam hubungan ini, mereka merasakan cinta dan kebahagiaan seksual yang serupa dengan yang dialami oleh individu heteroseksual.
Homoseksualitas sendiri mengacu pada ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu dengan jenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas merujuk pada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif kepada orang dari jenis kelamin yang sama. Selain itu, homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan tersebut, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas yang berbagi orientasi yang sama.
Kartono mendefinisikan homoseksual sebagai hubungan seksual antara individu dengan jenis kelamin yang sama, atau ketertarikan dan cinta terhadap jenis kelamin yang sama. Homoseksualitas dapat dikategorikan sebagai abnormalitas seksual dalam kajian psikologi abnormal.
Dede Oetomo memberikan definisi homoseksual sebagai orientasi atau pilihan seksual yang diarahkan kepada seseorang dengan jenis kelamin yang sama, atau ketertarikan emosional dan seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama.
Pada awalnya, istilah homoseksual digunakan untuk menggambarkan pria yang memiliki orientasi seksual terhadap pria lain. Namun, seiring waktu, istilah ini berkembang untuk mencakup individu (baik pria maupun wanita) yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis. Ketika seorang pria memiliki orientasi seksual terhadap pria lain, fenomena ini dikenal sebagai gay, sementara wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap wanita lain disebut lesbian. Baik gay maupun lesbian sering kali menghadapi stigma negatif dalam masyarakat.
Homoseksualitas sendiri adalah ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu dengan jenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas merujuk pada pola berkelanjutan atau kecenderungan untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif kepada orang dari jenis kelamin yang sama. Selain itu, homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan ketertarikan tersebut, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas yang berbagi orientasi yang sama.
Di Indonesia, isu LGBT menjadi salah satu topik yang banyak dibahas, terutama dalam konteks hukum dan kebijakan publik. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia menunjukkan karakteristik yang unik dalam mengelola isu ini. Secara hukum formal, tidak ada peraturan yang secara khusus mengkriminalisasi identitas LGBT, meskipun ada undang-undang yang sering digunakan untuk menargetkan mereka. Dalam konteks hukum Islam, wacana LGBT lebih banyak berkembang di ranah sosial dan politik dibandingkan di tataran kebijakan resmi. Fenomena ini menunjukkan bahwa norma agama dan hukum Islam tidak selalu berjalan seiring dengan hukum positif.
Dari perspektif sosiologi, perilaku LGBT seringkali menjadi subjek marginalisasi di masyarakat Muslim. Marginalisasi ini tidak hanya terjadi karena pandangan agama yang dominan, tetapi juga akibat stigma sosial yang kuat. Dalam banyak kasus, individu LGBT menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses ke pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak hukum lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hukum Islam dapat merespons kebutuhan kelompok-kelompok ini tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya.
Kajian tentang LGBT dalam sosiologi hukum Islam juga relevan untuk memahami bagaimana norma-norma agama dapat berdialog dengan nilai-nilai universal tentang hak asasi manusia. Beberapa negara Muslim menghadapi tekanan internasional untuk mengakui hak-hak LGBT.
Dalam pandangan sosiologi hukum Islam, isu LGBT dipahami sebagai fenomena yang melibatkan interaksi antara nilai-nilai agama, norma sosial, dan perilaku individu. Islam secara eksplisit menolak praktik homoseksualitas sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an dan hadis. Kisah kaum Nabi Luth menjadi referensi utama dalam hukum Islam yang menyebutkan perilaku homoseksual sebagai perbuatan menyimpang dan mendatangkan murka Allah. Dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf [7]: 80-81 disebutkan: "Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Dia berkata): Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? Sungguh, kamu telah mendatangi laki-laki untuk memenuhi syahwatmu (kepada mereka), bukan kepada perempuan; kamu adalah kaum yang melampaui batas."
Hukum Islam memandang homoseksualitas sebagai fahisyah (perbuatan keji) yang bertentangan dengan fitrah manusia. Dalam sosiologi Islam, perilaku ini tidak hanya dilihat sebagai dosa individual, tetapi juga memiliki dampak sosial yang dapat merusak tatanan masyarakat. Norma Islam yang bersumber dari Al-Qur'an, hadis, dan ijma ulama berfungsi sebagai panduan dalam menjaga harmoni sosial, termasuk dalam membentuk aturan mengenai hubungan antarindividu sesuai syariat.
Sosiologi hukum Islam juga menyoroti bagaimana lingkungan sosial, keluarga, dan komunitas dapat memengaruhi perilaku individu. Dalam konsep Islam, keluarga adalah institusi utama dalam pendidikan moral dan pembentukan karakter. Ketika keluarga gagal menjalankan fungsinya, individu menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Fenomena LGBT dapat muncul akibat sosialisasi yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti lemahnya pemahaman nilai-nilai Islam dalam keluarga atau eksposur terhadap budaya yang bertentangan dengan norma Islam.
Perilaku homoseksual tidak hanya dianggap melanggar norma agama tetapi juga norma sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, Islam memberikan panduan agar masyarakat menjaga akhlak kolektif melalui pendekatan preventif, seperti pendidikan agama yang kuat, dan penegakan hukum berbasis syariat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Abu Dawud).
Namun, pendekatan Islam terhadap LGBT tidak hanya bersifat hukuman atau penolakan semata, melainkan juga memperhatikan aspek rehabilitasi dan pengembalian individu kepada fitrah. Prinsip Islam sebagai agama yang membawa rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) mengajarkan pendekatan berbasis kasih sayang, pendidikan, dan dakwah. Masyarakat Islam diharapkan tidak hanya menghakimi tetapi juga membantu individu untuk kembali kepada jalan yang benar melalui nasihat dan bimbingan yang bijaksana.
Sosiologi hukum Islam juga memandang bahwa keberadaan LGBT di masyarakat merupakan ujian bagi umat Islam untuk mempertahankan nilai-nilai agama dalam era modern yang penuh tantangan. Dalam Surah Al-Baqarah [2]: 286, Allah berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk terus berupaya menjaga ketaatan kepada syariat dalam menghadapi dinamika sosial, termasuk isu-isu kontemporer seperti LGBT.
Dengan demikian, pandangan sosiologi hukum Islam terhadap LGBT menekankan pentingnya keselarasan antara hukum, norma agama, dan tatanan sosial. Hukum Islam tidak hanya bertujuan untuk mengatur perilaku individu tetapi juga menjaga harmoni masyarakat. Dalam menghadapi isu LGBT, Islam menawarkan solusi yang mencakup pendekatan hukum, pendidikan, dan dakwah, yang bertujuan untuk mengarahkan individu kembali kepada jalan yang sesuai dengan fitrah manusia dan ajaran agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H