Lihat ke Halaman Asli

Salma Alfitri Nurulaini

Universitas Padjadjaran

Sebuah Opini: Siapa yang Harus Disalahkan dalam Pelecehan Seksual?

Diperbarui: 26 Juni 2024   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto dari RRI.co.id (sumber: istimewa)

Peringatan: paragraf pertama mengandung tulisan sensitif yang dapat memicu trauma bagi sebagian penyintas pelecehan seksual. Bila Anda bagian dari mereka, Anda dapat melewati paragraf tersebut dan langsung membaca tulisan di paragraf kedua

Coba bayangkan, pada suatu malam, pukul sembilan, seorang gadis remaja baru saja selesai berkunjung dari rumah temannya dan hendak pulang ke rumah kost. Di tengah perjalanan, di gang yang sepi menuju kost-nya, ia mendengar langkah kaki yang sangat pelan seolah mengikuti sang gadis kemanapun kedua kakinya melangkah. Tetapi aneh, setiap kali menoleh ke belakang, ia tak melihat siapapun. Gadis pemberani itu berusaha untuk tidak merasa paranoid dan tak menghiraukannya, berpikir mungkin itu hanya suara kucing atau bunyi benda yang terjatuh oleh angin. Satu langkah maju, langkah yang lain mengikuti, sang gadis melangkah lagi, terdengar suara yang sama lagi, begitu terus. Seolah suara langkahnya bergema. Gadis itu pun mulai gelisah dan kembali menoleh barangkali untuk yang ketiga kalinya. Semilir angin malam yang tiba-tiba berhembus entah dari mana membuat bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. Mungkin ia kedinginan, atau... mungkin ia melihat sesuatu di belakangnya. Iya, 'sesuatu' itu adalah laki-laki jangkung dengan mata yang melotot--barangkali terpesona dengan kecantikan sang gadis yang mengenakan celana jeans setengah paha dan kaos ketat berwarna putih--kemudian langsung menggenggam pergelangan tangan sang gadis dan menyeret gadis itu, entah kemana. Yang jelas Anda tidak mau tahu, Anda tidak akan pernah mau tahu.

"Makanya, jangan pake baju terbuka pas malem-malem!" Seru seorang warganet dengan foto profil berupa siluet 'estetik' side profile seorang lelaki remaja yang tengah merokok, mengomentari postingan miris tentang pelecehan seksual di sebuah akun Instagram khusus berita-berita viral. Ia menyalahkan cara berpakaian perempuan itu yang menjadi biang penyebab terjadinya pelecehan seksual.

"Iya lah, pokoknya semua salah cewek. Diperk*a juga salah cewek! Kita emang 'si paling salah'! Padahal lu cowok pada yang gak bisa nahan napsu pas liat cewek cantik jalan di depan mata kalian yang jelalatan itu!" Warganet lain dengan foto profil wajah perempuan cantik hasil jepretan selfie menimpali komentar pertama dengan nada mengamuk, merasa kaumnya--kaum Hawa--selalu salah dalam posisi seperti ini.

"Ayolah, para wanita... Kita laki-laki emang bejat, tapi yang mancing duluan siapa?" Ada satu lagi warganet dengan foto profil pria paruh baya dengan kacamata hitam yang berkomentar demikian, membuat saya mual tak karuan ketika membacanya.

Saya hanya sedang bersantai, menikmati waktu me time di antara menumpuknya tugas kuliah yang menanti untuk dikerjakan. Dengan jenuh, saya menggulirkan homepage Instagram, barangkali menemukan hal yang menarik untuk mengusir kejenuhan ini. Sampai akhirnya saya berakhir di postingan tersebut. Kejenuhan saya memang menghilang seketika, tetapi hati saya tiba-tiba terasa panas seperti dibakar oleh batu bara. Saya jadi ikut-ikutan menghakimi postingan itu--yah, begitulah 'manusia', makhluk Tuhan yang paling sering menghakimi tindakan sesamanya.

(Postingan yang saya maksud di atas adalah fiksi namun terinspirasi dari pengalaman nyata saya)

Setelah cukup puas (atau muak) melihat komentar-komentar yang saling balas membalas di postingan tersebut, saya mematikan handphone dan berusaha menenangkan diri. Sejenak menghentikan otak saya yang hobi menghakimi segala hal itu. Kemudian setelah kepala saya cukup dingin, saya pun melamun, merenungkan opini-opini dan respon-respon masyarakat luas terhadap peristiwa mengerikan itu. Kali ini saya berusaha untuk tidak menghakimi dan memihak siapapun, mengingat saya adalah seorang mahasiswi di Program Studi Ilmu Sejarah, ilmu yang mengajarkan untuk menganalisis segala sesuatu tanpa melakukan keberpihakan berat sebelah atau disebut sebagai sikap personal bias.

Dalam kolom komentar di postingan yang membahas kekerasan atau pelecehan seksual, terlalu mudah untuk mengetahui jenis kelamin warganet atau user, bahkan kita tak perlu susah payah membuka beranda akun mereka untuk melihat wajahnya lebih jelas. Cukup dengan membaca respon mereka atas postingan itu, kita langsung tahu, mana yang 'perempuan' dan mana yang 'laki-laki'.

Si laki-laki merasa perempuan yang menggunakan pakaian minim-lah faktor utama terjadinya pelecehan seksual.

Si perempuan merasa laki-laki-lah yang seharusnya bisa menahan diri ketika melihat perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline