Lihat ke Halaman Asli

Salma Syenadri

Salma Syenadri - Mahasiswa Sosiologi FIS UNJ

Pengaruh Budaya "Childfree" dalam Perspektif Reproduksi Sosial: Strategi Mempertahankan Regenerasi pada Masyarakat Korea Selatan

Diperbarui: 10 Juni 2024   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Budaya merupakan salah satu hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah berinteraksi dengan orang lain, seperti orang tua, keluarga, teman, atau bahkan dengan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Biasanya, interaksi bisa terjadi ketika adanya kesamaan dengan orang lain, seperti keperluan atau kebutuhan terhadap hal yang sama, hingga kesamaan terhadap hobi atau hal yang disukai. Selain itu, ketika melakukan interaksi tersebut, kita pasti menyadari adanya budaya yang dibawa, seperti budaya dalam berbicara, budaya dalam berbahasa, hingga budaya dalam bersikap. Maka, hal ini akan berpengaruh pada nilai atau norma seperti apa yang akan dibawa individu untuk dibagikan ke dalam masyarakat sebagai kelompok sosial.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya adalah pikiran atau akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, dan sesuatu sukar untuk diubah. Dengan demikian, sama halnya dengan budaya yang dibawa dan menjadi ciri khas ketika melakukan interaksi, maka budaya lahir tidak hanya karena adanya ketika berinteraksi, tetapi budaya juga hadir karena adanya kebiasaan yang terus terbawa sejak zaman nenek moyang, dan lama-kelamaan mengakar kuat di masyarakat. Terlebih lagi, budaya tersebut tetap dijaga dan dilestarikan, karena adanya keinginan masyarakat untuk terus menjaga budaya yang ada, dan diwariskan kepada generasi penerusnya. Hal inilah yang menyebabkan di masa sekarang, segala bentuk kegiatan atau apapun yang kita lakukan, pasti memiliki kaitan dengan budaya yang diajarkan dari orang tua kita, yang mana budaya tersebut diturunkan kepada orang tua kita dari nenek moyang terdahulu.

Namun, budaya tidak hanya terbentuk karena ada sejak zaman dahulu, tetapi belakangan budaya terbentuk karena adanya tuntutan dalam lingkup sosial yang menekan dari luar diri individu. Tuntutan tersebut biasanya berasal dari beberapa faktor, seperti latar belakang keluarga, kondisi ekonomi dan sosial, kekhawatiran terhadap apa yang harus dilakukan dalam suatu kondisi, serta kondisi mental dan fisik seseorang. Faktor tersebut juga dapat hadir dan mempengaruhi pemikiran, serta keinginan banyak orang, sehingga dapat menyebabkan timbulnya sebuah budaya baru, yang kemudian menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Sama halnya dengan fenomena "Childfree" yang belakangan ini sering digaungkan di berbagai ranah perbincangan publik, salah satunya di media sosial. Cambridge Word reference mendefinisikan istilah "Childfree" sebagai kondisi dimana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Fenomena ini sejatinya bukanlah sebuah fenomena baru yang ada di masyarakat. Akan tetapi, fenomena ini mulai banyak diperbincangkan di berbagai kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda saat ini, seperti generasi milenial dan generasi Z (gen Z). Hal ini juga sedang terjadi di masyarakat Korea Selatan.

Korea Selatan merupakan salah satu negara maju di Asia. Hal ini disebabkan karena perkembangan yang terjadi di Korea Selatan berjalan dengan cukup pesat, seperti di bidang budaya, beberapa budaya Korea Selatan, seperti K-Pop (Korean Pop) dan Show korea juga berkembang tidak hanya di negaranya, tetapi mendunia. Banyak kalangan, seperti anak remaja, dewasa hingga orang tua menyukai budaya tersebut. Selain itu, dalam bidang pendidikan, masyarakat Korea Selatan memiliki tuntutan terhadap prestasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari anak disana, yang sedari dini sudah diberikan banyak akses pendidikan, tidak hanya pendidikan formal, tetapi juga pendidikan casual, seperti bimbingan belajar setelah sekolah formal, atau tambahan les lainnya yang harus mereka ikuti. Hal ini menyebabkan tingginya persaingan dalam pendidikan, baik dari anak usia dini hingga orang dewasa. Mereka berlomba-lomba untuk memperoleh predikat pendidikan yang tinggi, agar dapat memiliki pekerjaan yang baik. Itulah yang menyebabkan budaya pendidikan dan etos kerja masyarakat Korea Selatan cukup tinggi, sehingga perkembangan di negara tersebut juga berjalan pesat.

Namun, dibalik itu, terdapat hal yang menjadi poin pembahasan dalam esai ini, yaitu dibalik negaranya yang maju, pertumbuhan dan perkembangan jumlah sumber daya manusianya (SDM) tidak berjalan beriringan. Dikutip dari site populace today, jumlah populasi penduduk di Korea Selatan saat ini berjumlah 51.744.738 jiwa. Jumlah ini memang cukup besar mengingat besar wilayah Korea Selatan lebih kecil dibandingkan wilayah Korea Utara yang penduduknya berjumlah kurang dari setengah jumlah penduduk Korea Selatan, yaitu sebesar 26.239.848 jiwa. Namun, meski jumlah penduduk Korea Selatan masih terbilang besar, tetapi sejak tahun 2020, jumlah penduduk di Korea Selatan semakin menurun. Hal ini terbukti dengan tingkat pertumbuhan tahunan Korea Selatan sebesar - 0,091%, dengan tingkat kelahiran tahun 2024 mencapai 128.231 jiwa dan tingkat kematian pada tahun 2024 mencapai 162.263 jiwa. Maka, sejauh tahun 2024 berjalan, dapat dikatakan bahwa angka kelahiran di Korea Selatan lebih rendah dibandingkan dengan angka kematiannya.

Maka, jika dilihat dari perspektif Reproduksi Sosial milik Bourdieu, maka fenomena childfree di Korea Selatan ini sudah terjadi sejak adanya penurunan jumlah populasi penduduk di tahun 2021. Hal ini menandakan adanya struktur sosial yang diteruskan dari masa ke masa dalam masyarakat Korea Selatan. Begitu juga dengan fenomena "Childfree" yang sudah menjadi keinginan sebagian generasi muda di negara tersebut, sehingga sumber daya manusia yang akan menjadi penerus dalam menciptakan atau meneruskan kapital atau modular budaya di keluarganya dalam berbagai bidang ini akan terhambat. Hal ini dikarenakan tidak adanya penerus yang akan melanjutkannya. Maka, hal ini juga berkaitan dengan Habitus dalam Konsep Bourdieu, dimana fenomena ini bisa terjadi karena adanya pengaruh pola pikir, tindakan, dan kebiasaan yang terinternalisasi pada individu sebagai hasil dari pengalaman sosial mereka. Dalam hal ini, pemikiran terhadap pengalaman sosial yang mereka temui sehari-hari ini akan mempengaruhi keputusan yang diambil untuk dirinya sendiri.

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang akan mengambil keputusan untuk childfree atau memutuskan tidak memiliki anak, yaitu:

  1. Besarnya tekanan terkait pendidikan dan karier, dimana di Korea Selatan, seperti yang sebelumnya dikatakan, bahwa etos masyarakat terhadap pendidikan dan pekerjaan sangatlah tinggi, karena memikirkan besarnya persaingan di pasar kerja, sehingga membuat banyak orang, terutama perempuan untuk menunda atau mengurungkan niat untuk memiliki anak.

  2. Biaya hidup tinggi, dimana di Korea Selatan sendiri, biaya hidup disana cukup tinggi, yang mana hal ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat agar menunda atau mengurungkan niat untuk memiliki anak, karena pertimbangan biaya yang cukup besar harus dikeluarkan ketika mempunyai anak, sehingga mereka mengutamakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

  3. Adanya pergeseran dan perubahan nilai budaya, dimana perubahan pandangan di kalangan generasi muda di Korea Selatan ini membuat mereka lebih memprioritaskan diri dan karir mereka, sehingga membuat fenomena "childfree" menjadi layaknya budaya yang dapat diterima, bahkan dianggap sebagai norma.

  4. Adanya tantangan lingkungan, yang mana beberapa individu memutuskan untuk tidak memiliki anak, agar pertumbuhan populasi tidak berlebihan, dan menjadi cara untuk berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline