Lihat ke Halaman Asli

Di Manakah Batas Emansipasi Wanita?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Mata saya yang tadinya mengantuk karena capek setelah bekerja, jadi terbuka lebar karena membaca iklan BVG (Berliner Verkehrsbetriebe - perusahaan transportasi Berlin) di layar monitor kedatangan bus di halte bus. Isi iklannya 'dicari supir wanita (Fahrerin) untuk bus & kereta (S Bahn). Bukannya saya tertarik untuk ganti job (saya sudah nyaman dengan job saya karena banyak tunjangannya), hanya baru pertama kali ini saya melihat BVG menggunakan kata 'Fahrerin' untuk mencari supir. Biasanya kalau mereka mencari supir cukup menulis 'Fahrer' walaupun kalau diterjemahkan berarti supir laki-laki. Tapi itu bukan berarti wanita tidak boleh melamar pekerjaan tersebut. Kalau BVG sudah memasang iklan seperti itu, itu berarti hanya supir wanitalah yang mereka cari atau lelaki yang kewanita-wanitaan he.. he... Sepintas lalu iklan tersebut memang terlihat normal, tapi untuk sebagian orang itu menjadi tanda kalau gerakan "feminisme" sudah mulai menunjukkan kekuatannya yang lebih. Saya sih setuju-setuju saja selama mereka (wanita) masih berada di jalur yang benar, tanpa mengingkari kodratnya juga. Belakangan ini memang lagi ramai-ramainya pembahasan tentang 'Frauenquote' di parlemen Jerman. Para anggota parlemen wanita (ada juga pria (pria kemayu) menuntut agar wanita diberikan porsi yang lebih besar lagi di setiap perusahaan yang stafnya didominasi laki- laki, misalnya industri mobil, kesehatan, teknik,dll.. Bahkan Familienministerin (menteri keluarga) Manuela Schwesig mencanangkan tahun 2016 agar wanita diberikan jatah 30% untuk duduk di Aufsichtrat (komisaris). Jadi 'Frauenquote' itu tidak ubahnya seperti pemerintah Indonesia yang menuntut Arab Saudi untuk menambah jumlah kuota haji Indonesia. Saya sebagai wanita Indonesia yang tinggal lama di Jerman, merasa aneh dengan tuntutan mereka. Saya melihat wanita Jerman sudah banyak diberi kebebasan dalam berkarier & hak-haknya sebagai wanita juga diperhatikan di perusahaan tempatnya bekerja. Di perusahaan tempat saya bekerja (mayoritas wanita), jika ada yang hamil, mereka boleh mengambil cuti dari awal kehamilan sampai si bayi berumur kira-kira 2 thn. Selama cuti si wanita tetap mendapatkan gaji yang besarnya tentu saja tidak 100% & setelah itu dia masih bisa kembali bekerja sesuai posisinya. Diberi jam kerja yang wajar (di bawah jam 18.00) jika si wanita masih punya anak kecil. Coba bandingkan dengan Indonesia atau negara-negara lain, di mana hak-hak wanita pekerja masih tidak/kurang dihargai. Menuntut kuota yang lebih banyak itu sah-sah saja asal dibarengi juga dengan isi kepala & rela mengorbankan kodratnya sebagai wanita. Jangan menuntut hanya sebab iri melihat jumlah laki-laki yang masih mendominasi untuk posisi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa posisi-posisi 'tertentu' masih diduduki laki-laki: - dalam bekerja, wanita gampang sekali stress jika menghadapi suatu masalah. Saya amati rekan-rekan kerja di tempat kerja yang sekarang & dulu, sering sekali mereka tiba-tiba menunjukkan wajah yang tidak bersahabat kalau pekerjaan lagi numpuk, bahkan sampai ada customer yang komplain. Beda dengan rekan kerja pria yang masih tetap bisa tersenyum. Mereka sering juga tidak masuk sebab alasan sakit atau lainnya. -tidak bisa fleksibel dalam jam kerja. Maunya dapat jam kerja yang normal-normal saja. Bagaimana mereka mau menjabat CEO, komisaris, manager, dll. di perusahaan besar kalau jam kerja saja sudah pilih-pilih. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk diri sendiri. Tanyakan bos-bos di perusahaan besar, berapa jam mereka harus kerja, berapa libur yang didapat per tahunnya (kalau ini memang bisa dibilang 'libur'). -dalam mengambil keputusan lebih sering memakai perasaan daripada logika. Kalau itu perusahaan sendiri, silakan saja. Mau hidup atau mati, toh itu perusahaan miliknya. Tapi kalau bikin bangkrut perusahaan orang, siap-siap saja masuk penjara. -rasa iri. Walaupun sudah menduduki posisi tertinggi, masih juga merasa tidak nyaman kalau melihat stafnya ada yang 'lebih'. Lebih cantik, lebih muda, lebih pintar, lebih modis dll.. Dan tanpa alasan yang jelas bisa-bisa stafnya dipecat atau dimutasi. -terlalu banyak tuntutan. Harus ada waktu untuk pacar, suami, selingkuhan, keluarga, kerabat, teman dekat/jauh, teman yang tidak tampak (bukan hantu lho... tapi teman di Twitter, Fb,dll.). Minta cuti bulanan kalau lagi datang haid atau kalau haid tidak datang minta cuti hamil yang panjang. -merasa nomor satu & susah untuk diajak berdiskusi. Biasanya wanita dalam berdiskusi kalau sudah merasa terpojok, karena sudah tidak bisa beragumentasi lagi, maka dicarilah jawaban-jawaban yang tidak nyambung ke masalahnya atau marah-marah. Pengalaman dari saya sendiri wkkk.... -mood yang sering tidak stabil. Masuk kerja sudah manyun sebab ada masalah di keluarga atau apalah. Sudah untung kalau staf tidak kena pelampiasannya. Dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya. Kalau wanita Jerman menuntut kuota mereka diperbanyak, maka mereka harus terima juga konsekuensinya. Jangan hanya mau ambil yang enaknya saja. Giliran yang tidak enak diberikan ke laki-laki. Sampai sekarang saya belum pernah dengar ada perusahaan yang mengijinkan karyawan laki-laki mengambil cuti panjang untuk mengurus anaknya yang masih balita, tapi gaji masih terus dibayar. Atau laki-laki menuntut kuotanya juga ditambah di perusahaan yang banyak didominasi wanita & pucuk pimpinannya juga wanita. Emansipasi.... biar si Eman nggak sepi. Saya bangga & senang jika semakin banyak wanita yang bisa menduduki posisi tinggi seperti halnya Ibu Sri Mulyani (Managing Director of World Bank), Marissa Mayer (CEO Yahoo), Margaret Chan (Dirjen WHO), atau lainnya. Mereka mendapatkan posisinya karena mereka sudah melewati 'ujian-ujian' yang tidak setiap wanita bisa melewatinya. Mereka tidak perlu teriak tentang kuota, karena mereka tahu untuk mencapai semua itu mereka harus rela & siap mengorbankan kehidupannya sebagai wanita. Kalau para wanita tersebut (wanita Jerman) masih merasa belum puas dalam meniti jenjang karirnya, berjuanglah dengan 'fair'. Jangan mencari kambing hitam dari laki-laki hanya untuk bisa menggolkan keinginannya. Di mana hampir setiap perusahaan dilobi (untuk saya seperti dipaksa) untuk menerima kuota ini. Kalau mereka mau jadi supir bus, silahkan. Tapi mereka harus siap juga kalau harus kerja malam & harus siap juga menghadapi penumpang yang brengsek (kriminal). Atau mau jadi komisaris di Daimler atau BMW, yang penting semuanya (luar dalam) harus siap. Jangan hanya yang dilihat gaji & posisinya yang tinggi. Tidak ada perusahaan yang mau memberikan karyawannya gaji tinggi dengan cuma-cuma. Saya mendukung emansipasi wanita dalam karier, tapi bukan emansipasi yang kebablasan. Walau bagaimanapun wanita & pria tidak pernah sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline