Lihat ke Halaman Asli

Akhirnya Surga Itu Datang

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Tanggal 13 Juni 2014 rupanya menjadi hari keberuntungan bagi team sepak bola Jerman dalam mengakhiri pertandingan finalnya melawan Argentina di stadion Maracana-Brasil. Walaupun pertandingan berlangsung malam hari (pukul 21.00 waktu Jerman), tetapi jalan-jalan di sore hari sudah bisa dibilang sepi. Saya & suami yang masih dalam perjalanan dari Spreewald (Brandenburg) ke rumah tidak menemui kemacetan di awal-awal liburan sekolah kali ini. Semua orang lebih suka memepersiapkan segala sesuatunya (mis.makanan & minuman) untuk bisa nobar pertandingan akbar final piala dunia, daripada keluyuran di jalan tanpa tujuan.

Almarhum Bapak saya yang penggemar berat sepak bola telah menularkan hobbynya ke saya & adik. Saya masih ingat, setiap kali ada pertandingan piala eropa & piala dunia, Bapak selalu duduk paling depan di TV (hanya berjarak 1 m) & matanya tidak pernah lepas menatap para pemain bola jagoannya. Komentarnya pun melebihi dari ahlinya, he..he... Tidak hanya pintar komentar, tapi Bapak memang bisa bermain bola. Kalau ada waktu luang, selepas pulang kerja, Bapak sering bermain bola dengan teman-temannya di lingkungan RW. Dan benar, apel itu jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Sebelum saya mengenal & menikah dengan suami, saya masih sering mengikuti siaran pertandingan piala dunia. Sampai saya hapal nama-nama pemain tim kesayangan saya. Jam tayangannya pun (WIB) bukanlah penghalang untuk saya tidak nonton. Tapi semua itu tinggalah kenangan, setelah saya menikah & hijrah ke jerman.  Suami bukanlah penggemar bola, walaupun negaranya banyak melahirkan jago-jago bola. Siapa sih yang tidak kenal Karl-Heinz Rummenigge, Franz Beckenbauer, Sepp Maier, Jürgen Klinsmann, Lothar Matthäus, Oliver Bierhoff, dll. Suami memang tidak pernah melarang saya untuk menonton bola, tapi kalau menonton sendirian, tidak seru.

Karena saya sudah mengenal bola sejak kecil, makanya kebiasaan untuk tidak menonton susah untuk dihapus begitu saja. Paling tidak saya harus menontonnya di babak semifinal atau final. Minimal 1 kali dalam semua pertandingan. Begitu juga yang saya lakukan kemarin malam. Saya sudah stand by di depan TV sendirian 1 jam sebelum pertandingan dimulai, sementara suami sibuk dengan bermain game pesawat di kamar yang lain. Seandainya bisa nobar, tentu akan lebih enak lagi.

Pertandingan dimulai & saya mulai deg-degan. Kedua team bermain sama bagusnya. Kalau tidak, mana ada perpanjangan waktu. Saya berteriak-teriak & berbicara sendiri, tidak ubahnya seperti orang gila, he..he... kalau team saya, Jerman, hampir membuat gol atau gawangnya hampir kebobolan. Saya yang menjagokan jerman, sempat ciut juga, ketika beberapa kali Lionel Messi punya peluang untuk mencetak gol. Tapi rupanya keberuntungan belum berpihak ke Argentina. Dan menit ke 113 (lagi-lagi angka 13) bobolah gawang Argentina dari bola yang disarangkan oleh Mario Götze, yang diturunkan pelatih Joachim Löw untuk menggantikan Miroslav Klose di menit ke- 88. Yeah....mimpi saya & rakyat jerman, juga yang menjagokan jerman, menjadi kenyataan. Saya langsung membangunkan suami yang lagi tidur nyenyak dengan memakai 'Ohrpax' (penyumpal telinga) agar tidak mendengar teriakan saya. Di menit-menit terakhir itulah akhirnya saya bisa nobar dengan suami.

Keputusan Löw untuk menurunkan Götze adalah tindakan yang tepat, setelah melihat Klose seperti sudah tidak fit lagi (mungkin faktor umur). Mario Götze yang lahir 3 Juni  1992 di Memmingen bukanlah berasal dari keluarga bola. Ayahnya adalah seorang Akademik, Prof.di Technischen Universität Dortmund untuk fakultas Elektronik & Informatik. Rencananya sang ayah ingin mengajari 3 anak lelakinya bermain tenis, tapi ketika mereka pindah ke Ronsberg, Allgäu, yang ada di depan rumah, justru lapangan sepak bola yang besar. Namanya juga anak, cepat sekali keinginannya berganti. Untung kau tidak menekuni tenis, Götze, kalau tidak, mungkin jerman tidak juara. Dan sejak berumur 15 tahun, kakak beradik, Mario & Fabian Götze, sudah sering diundang untuk mengikuti kejuaraan nasional junior. Orang tua yang baik memang selalu mendukung keinginan anaknya, begitu juga dengan ayah Mario Götze. Dia sering mengantar anak-anaknya berlatih bola. Hasilnya prestasi si anak, tidak hanya membanggakan keluarganya, bahkan juga negaranya. "Men des Spiels" itulah julukan baru untuk Mario Götze setelah kejuaraan dunia selesai.

Baik & buruknya suatu team tidak bisa terlepas dari pelatihnya. Jerman beruntung mempunyai pelatih handal sepakbola, Joachim Löw (54 thn.) Pria yang jarang tersenyum ini memang mempunyai tangan dingin dalam melatih anak asuhannya. Setelah malang-melintang di dunia persepakbolaan, baik sebagai pemain maupun pelatih, akhirnya thn.2006 barulah dia ditunjuk sebagai pelatih kesebelasan Jerman menggantikan Jürgen Klinsmann. 4 tahun kemudian dia sudah membawa teamnya menjadi juara 3 pada pertandingan piala diunia di Afrika Selatan. Ambisi dan impiannya memang tidak berhenti hanya sampai di sana. Löw ingin jerman bisa menjadi juara dunia ke-4 kalinya. Dan kemarin malam keinginannya terkabul, seperti ucapannya yang ditujukan kepada seorang jurnalis malam itu, " Jangan takut, malam ini kita tidak akan jatuh ke lubang. Dan besok juga tidak. Kita akan berangkat ke Berlin & kita akan ada di sana untuk merayakan kemenangan dengan semua fans di Brandenburger Tor". Oh...Löw, ich liebe Dich ! Seandainya saya tidak kerja, ingin rasanya bergabung dengan mereka besok.

Menjadi pelatih team sepakbola tidaklah mudah. Menyatukan banyak kepala & karakter untuk mencapai suatu tujuan yang sama diperlukan suatu kerja yang keras. Selain melatih & mendidik anak asuhnya, pelatih juga harus menjadi motivator yang baik. Yang bisa membangkitkan & menyemangati anak asuhnya, tidak hanya di dalam lapangan, bahkan di luar lapangan sekalipun. Ketika Löw hendak menurunkan Mario Götze, dia membisikkan kata-kata ini ke telinga Götze, " Tunjukkan ke pada dunia, bahwa kamu bisa bermain lebih baik dari Messi. Dan tunjukkan juga, bahwa kamu bisa menentukkan permainan ini". Kata-kata yang singkat, tapi efeknya sangat mujarab.  Dan kepada semua pemainnya, Löw cukup mengatakan, "hari ini kalian harus memberikan sebanyak mungkin untuk karier kalian, seperti yang belum pernah kalian berikan sebelumnya. Dan kalian akan mendapatkan, apa yang belum pernah kalian dapatkan". Dan hasilnya....kita sudah tahu semua. Jerman juara dunia !

Löw sudah mempersiapkan 'proyeknya' ini 10 tahun lalu, ketika banyak dari para pemainnya masih berusia muda. Dan dia tahu, kemenangan itu suatu waktu pasti diraihnya. Kerja keras & disiplin selalu membuahkan hasil yang bagus.

Terimakasih Löw, terimakasih Götze & team yang sudah mewujudkan impian masyarakat jerman.  Prost ! Tidak terasa setengah botol anggur merah telah diminum oleh saya & suami untuk merayakan kemenangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline