Telah bertahun-tahun saya menetap, bergaul & bekerja dengan orang-orang Jerman, tapi masih belum mengerti juga karakter bangsa ini. Bukan dalam masalah kedisiplinan, tepat waktu atau kerja kerasnya, tapi kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya mereka cari dalam hidupnya. Rasanya tidak ada hari tanpa keluhan untuk mereka. Sampai-sampai dibilang Deutsche jammern immer (orang jerman selalu ngeluh), terutama untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari libur kerja, diliburkan tepatnya, karena jam kerja saya sudah melebihi ketentuan yang tercantum di kontrak kerja. Kadang-kadang perusahaan membayarnya dengan uang, tetapi tidak jarang staffnya diberi libur ekstra. Penghematan. Saya sendiri lebih suka dapat libur ekstra. Untuk apa ada uang lebih, tapi tidak ada waktu untuk menggunakannya. Hidup hanya sekali. Silahkan ngoyo cari uang, tapi ingat juga waktu untuk menyenangkan diri sendiri.
Di masa 'istirahat' itu saya yang hobbynya keluyuran & pulang ke rumah kalau waktunya sudah harus masak, sebab ada suami yang harus diberi makanan, jadi punya waktu lebih banyak untuk memperhatikan sekelilingnya. Di dalam bus saya sudah disuguhkan atraksi perang mulut antara supir bus & seorang wanita usia kira-kira di atas 40-an. Si wanita lebih banyak nyerocosnya dibanding supir, suaranya keras lagi. Saya yang baru saja minum obat sakit kepala, rasanya tuh obat nggak bantu sama sekali. Masalahnya sebenarnya sepele, sebab ada Baustelle (perbaikan) di jalan, makanya bus harus ambil rute lain. Si wanita meminta supir untuk diturunkan di halte bus yang biasa dilewati bus itu. Jelas aja nggak bisa, emangnya si supir yang punya jalan. Terus kalau ada polisi & ditilang, apa wanita itu mau tanggung jawab ? Bukannya introspeksi diri, ini malahan nyalahin supir. Bilang nggak ada pemberitahuanlah, bus ambil jalan lebih panjang, kenapa dia tidak diturunkan di halte berikutnya, dsb.nya. Ini wanita tipe orang dodol yang mungkin kerjanya hanya bisa menyalahkan orang lain. Apa nggak baca pengumuman yang ditulis besar-besar di halte bus sebelum dia naik ? Anak SD aja tahu itu. Saya coba untuk mempraktekkan yoga (walaupun seumur-umur belum pernah belajar yoga) dengan cara konsentrasi ke diri sendiri, menutup telinga kiri & kanan, tapi nggak mempan juga. Setengah perjalanan saya harus dengar ocehan wanita ini. Untung dia nggak ikut saya terus, bisa gila. Ke luar dari bus, saya langsung menuju Cafe langganan & mengambil tempat duduk di luar sebab udara bagus. Karena lupa beli majalah, mau tidak mau telinga saya jadi nguping percakapan di kiri-kanan. Ada yang komplain sebab udara terlalu panas. Anehnya kenapa orang ini nggak duduk di dalam Cafe yang ada AC nya? Berapa hari dalam setahun Jerman dapat musim panas yang bagus ? Nggak sampai 2 bulan penuh. Kemana orang jerman lebih suka liburan ? Ke tempat panas, tentunya. Tapi baru panas beberapa hari, sudah nggak suka. Yang lain bilang, kualitas baju sekarang jelek-jelek. Baru beberapa kali dicuci sudah rusak. Bisa saja itu benar, tapi kalau saya lihat tas belanja 'Primark' tergeletak di dekatnya, jangan harap dapat kualitas bagus untuk baju-bajunya. Primark itu toko baju besar yang pengunjungnya berjubel & hampir merambah ke seluruh jerman. Dan terkenal dengan harganya yang murah-meriah. Dengan 2 € kita sudah dapat baju. Yang duduk di depan saya bilang, pemerintah kurang memperhatikan para pengangguran. Katanya bantuan sosial yang diberikan tidak cukup untuk hidup. Sudah dibantu banyak, tanpa bayar pajak & gratis lagi, masih juga nggak puas. Nih orang harusnya tinggal di Indonesia, untuk tahu arti pengangguran sebenarnya. Dan masih banyak lagi yang saya dengar, seperti suara orkestra yang nggak karuan lagunya.
Sudah lama saya mencari-cari jawaban kenapa orang jerman sepertinya selalu merasa tidak atau kurang bahagia hidupnya, walaupun secara ekonomi mereka tercukupi. Kebanyakan dari mereka, termasuk suami, mengatakan bahwa iklimlah yang membuat mereka seperti itu. Terlalu lama musim dingin & kurang sinar matahari, makanya mereka seperti depresi. Kalau itu alasannya, mengapa negara-negara tetangganya yang di utara hidupnya lebih bahagia, walaupun musim dingin jauh lebih lama dari di sini. Bahkan menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) tahun 2013 negara Denmark menempati posisi ke 3 untuk tingkat kebahagiaan. Sedangkan Jerman posisi ke 18 di bawah Israel & Meksiko. Ternyata yang mempengaruhi orang jerman bersikap seperti itu adalah faktor gen. Hal ini baru saja saya ketahui setelah membaca suatu artikel di Berliner Zeitung. Ada satu gen, yang belum diketahui namanya, yang bertanggung jawab untuk suasana depresi atau kurang bahagia. Kalau gen itu sudah bermutasi, orang jadi lebih suka murung. Gen-gen orang jerman rata-rata itu sudah bermutasi. Tingkat kebahagiaan mereka masih ada di pertengahan, dibandingkan orang Italia yang berada jauh di bawah Jerman. Alasannya pun sama, banyaknya gen-gen yang bermutasi. Untuk alasan yang tepat, saya lebih percaya ke gen, dibanding iklim. Walaupun bisa jadi iklim juga turut mempengaruhi suasana hati seseorang.
Orang jerman tanpa mengeluh tidak bisa! Orang-orang seperti ini tidak tahu apa artinya bahagia, walaupun itu ada di depan mata. Di mana pun mereka berada, pasti akan selalu merasa ada yang kurang nyaman dalam hidupnya. Lihatlah di Bali, turis manakah yang paling sering komplain ? Jawabannya pasti turis jerman. Selalu saja ada yang dikritik. Saluran TV yang tidak bagus, internet yang jalannya kedap-kedip, lampu di kamar yang tidak cukup terang, chek in yang tidak on time, dsb.nya. Mereka datang jauh-jauh dari tempat dingin untuk cari panas. Sudah dapat, tapi masih tidak puas juga. Atau rekan kerja saya yang meminta Boss untuk menambah jam kerjanya. Setelah dituruti & kontrak kerja diperbaharui, malahan melaporkan Boss ke Betriebsrat (dewan pengurus perusahaan) & kepala cabang untuk Berlin, karena cara kerja Boss yang tidak disukainya. Walah....walah.... Saya sudah menasehatinya untuk berpikir matang sebelum melapor ke Betriebsrat. Atau minta aja pindah ke cabang lain. Karena masalah gen inilah makanya banyak orang jerman yang bertingkah aneh-aneh, menurut saya. Para lesbian meminta adanya kuburan tersendiri untuk mereka, begitu juga kaum homonya. Bahkan di beberapa tempat disediakan juga toilet untuk yang berjender netral, karena orang-orang ini tidak mau memakai toilet laki-laki atau perempuan. Perempuan yang hanya mau disebut dengan gelar akademik Profesorin, bukannya cukup Profesor saja seperti dulu-dulu. Bingung saya melihat fenomena seperti ini. Lebih bingung lagi karena saya harus tinggal dengan mereka.
Selama gen ini masih bercokol di tubuh orang jerman, maka harap dimaklumi jika ada kelakuan mereka yang tidak bisa masuk ke pikiran kita. Mereka masih mencari-cari terus apa itu kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H