Lihat ke Halaman Asli

Jonru dan Dawn of The Planet of The Apes

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati proses recovery dan istirahat dari analisis data, semalam kami sekeluarga melihat Dawn of the Planet of the Apes, cukup dari laptop tentunya. Sudah cukup lama juga ternyata kami tidak melalukan ini, sejenak menghangatkan diri menikmati “family time”.

Ada banyak hal yang menarik dari film ini, terutama mencermati bagaimana proses dan keterkaitan persoalan intra-personal (masalah diri sendiri) yang kemudian meluas menjadi persoalan komunal yang berujung peperangan tragis. Sebuah cerita yang sebenarnya banyak kita temui jika membaca sejarah-sejarah konflik dunia. Saya melihat proses tersebut terjadi karena interaksi empat (sebenarnya lima) jenis karakter dalam film ini:

(1)Karakter Pembakar (provokator). Karakter ini digambarkan oleh Carver (si botak) dari kubu manusia dan Koba dari kubu Apes. Si botak terlihat sebagai figure yang sebenarnya penuh kecemasan, ketakutan, sehingga munculnya dalam bentuk ketidak tenangan, mudah lepas kendali. Sedang Koba digambarkan sebagai figur yang penuh kemarahan, dendam, luka batin akibat pengalaman masa lalu dengan manusia, sekaligus ketakutan pengalaman lama akan terulang. Dua karakter ini sebenarnya bermasalah dengan dirinya sendiri, namun kemudian mem-proyeksikan-nya dan mem-provokasi-kannya ke komunal (kelompok), menjadi seolah-olah masalah komunal, bukan soal pribadi.

Dari sisi si botak, “saya penuh ketakutan dan terancam”, dialihkan menjadi “kubu manusia perlu takut dan terancam oleh Apes”. Dari sisi Koba, “saya takut pengalaman lama terulang sekaligus saya dendam dan marah”, dialihkan menjadi “para Apes harus takut terhadap manusia sehingga harus menyerang mereka sebelum mereka kuat dan menyakiti kita”. Dua karakter inilah yang sebenarnya bermasalah dengan dirinya sendiri, yang kemudian menjadikannya masalah komunal (kubu manusia vs kubu apes) sehingga terjadilah peperangan.

Sebenarnya bermasalah dengan diri sendiri pasti dialami semua manusia, namun dalam sudut pandang psikologi klinis, karena karakter ini tergolong karakter “sakit” (mental disorders) maka ada petanda yang berbeda diantaranya: derajat yang berlebih (marah, cemas, dendam yang berlebih), impulsivitas (berlebih sehingga sulit dikontrol), dan keterpakuan (terfokus secara berlebih pada topik tertentu dan tidak bisa bicara hal yang lain).

(2)Karakter Terbakar. Karakter yang sebenarnya juga bermasalah dengan dirinya sendiri (ketakutan, kecemasan, kemarahan) sehingga rentan untuk terbakar dan kemudian terlibat dalam konflik. Salah satu karakter yang bisa digolongkan dalam kelompok ini adalah anak sulung Caesar. Ia yang dalam proses tumbuh dewasa sekaligus mengemban label anak Caesar terlihat penuh konflik internal pembentukan identitas diri “siapa saya, saya yang ingin lepas dari bayang ayah sekaligus saya yang cemas karena belum cukup kuat dan masih tergantung ayah”. Bicara soal karakter seperti ini-orang yang sebenarnya bermasalah dengan dirinya sendiri sehingga mudah mengidentifikasi diri (rentan) dengan masalah komunal (terbakar), sebenarnya jumlahnya sangat banyak, bahkan mungkin lebih banyak dari karakter yang berikutnya ini.

(3)Karakter pengikut. Orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki masalah spesifik secara personal maupun (mungkin tidak juga) terikat dengan persoalan komunal namun karena secara nyata terancam sehingga memilih menurunkan derajatnya menjadi pengikut untuk kemudian terlibat dalam konflik. Sebagaimana diungkap oleh anak Caesar saat ditanya ayahnya tentang para Apes yang membantu Koba, “mereka membantu karena takut dibunuh oleh Koba”. Karakter seperti ini juga digambarkan dengan indah dalam film “Life is Beautiful”, yaitu dalam diri sang dokter yang kemudian menjadi anggota Nazi karena tidak punya pilihan lain sebagai warga Jerman.

(4)Karakter Damai. Karakter yang kukuh meyakini bahwa perdamaikan itu ada dan konflik bisa diselesaikan melalui dialog, bukan peperangan. Dengan keyakinannya ini, mereka umumnya kemudian menjadi berbeda, tampil naif, bahkan dikucilkan dari komunalnya. Karakter ini digambarkan dalam diri Maurice sang orang utan yang kemudian malah dipenjarakan Koba karena tidak mau terlibat perang dan malah melindungi manusia (lawan).

Sebenarnya ada satu karakter lagi, yaitu karakter Pemimpin. Seseorang yang bijak, penuh keyakinan diri sehingga selalu merasa aman (bisa percaya) dengan pihak luar, dan karenanya meyakini adanya kedamaian, namun bisa memutuskan kapan harus berperang tanpa kehilangan keyakinan diri akan adanya kedamaian dan pemaafan. Karakter ini digambarkan oleh Caesar dari pihak Apes dan Malcom dari pihak manusia. Namun untuk membahas karakter seperti ini butuh halaman yang lebih panjang dan sepertinya derajat kemanusiaan saya masih terlalu rendah membahasnya. Khusus bagi kaum muslim, jika ingin melihat contoh karakter nyata yang sangat kuat kepemimpinannya, maka Nabi Muhammad SAW adalah gambaran paling indah tentang karakter ini, ambil contoh misal saat menyikapi perjanjian hudaibiyah, menghadapi kaum thaif, dan juga penaklukan Mekkah.

Bicara meluas terkait konflik di Indonesia, baik itu bicara konflik Jokowi-Prabowo, FPI-Ahok, pro kontra KTP dan sebagainya, kita bisa melihat munculnya terutama empat karakter ini: pembakar, terbakar, pengikut, dan damai, sekalipun karakter ke-empat seperti senyap karena tidak terlalu menarik media. Kita bisa melihatnya dari diri tokoh-tokoh popular yang namanya sering muncul di media massa maupun media sosial, orang-orang sekitar kita, kerabat dan sahabat kita, dan juga (namun ini mungkin paling sulit) yaitu dari diri sendiri (termasuk penulis). Sedang untuk karakter pemimpin, saya tidak mampu mengulasnya selain belum mampu melihat ada tidaknya karakter tersebut di Indonesia sekarang.

Ambil contoh karakter pembakar, kita bisa melihat dari isi bicaranya (postingannya, tweet-nya) yang isinya SANGAT PENUH dan PASTI emosi negatif (kemarahan, ketakutan dsb) yang dilekatkannya sebagai emosi komunal/kubu tertentu, meski sebenarnya proyeksi dari emosi negatif pribadi, masalah diri sendiri. Kata “sangat penuh” untuk menggambarkan derajat yang berlebih sehingga terkesan tidak lagi terkontrol baik secara frekuensi maupun isi. “Pasti” untuk menggambarkan keterpakuan, selalu tentang tema itu, tema sama yang berulang dan selalu dari satu sisi yang sama pula. Tiga ciri yang bisa juga dipakai untuk membedakan mana yang secara mental jatuh sakit, menjadi berkarakter pembakar, dan mana yang masih dalam tataran sehat dalam artian cukup berimbang dan terkontrol. Tiga ciri yang mungkin bisa juga digunakan untuk membedakan mana provokator dan mana yang berjiwa kritis dan netral.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline