Saya melangkahkan kaki keluar dari Gedung Parlemen Australia, sebuah bangunan dengan struktur unik menyerupai bumerang dan menjadi tengaran (landmark) ibu kota Canberra. Di puncaknya, berkibar gagah bendera nasional Austalia. Bendera berlatar biru tua berhiaskan panji Britania Raya Union Jack dan lima bintang merah Southern Cross. Di gedung inilah para anggota parlemen berdebat dan memutuskan beragam kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional Negeri Kanguru. Di depan sana, berdiri bangunan putih Old Parliament House, yang sekarang menjadi Museum of Australian Democracy, serta danau buatan Lake Burley Griffin.
Tetiba mata saya menangkap sebuah pemandangan tidak biasa di seberang gedung parlemen itu. Memang tidak ada orang di sana, namun kelihatan sekali tanah lapang tersebut baru digunakan untuk berunjuk rasa. Terdapat beberapa tenda serta poster-poster yang disusun berderet. Juga terlihat sebuah bendera yang terentang di tengah deretan poster tersebut. Bendera tersebut berlatar hitam dan merah, dengan bulatan kuning emas di tengahnya. Tidak sulit bagi saya untuk menyimpulkan, itu adalah sebentuk penyampaian aspirasi orang-orang Aborigin!
Saya menghela napas panjang. Di tengah kenyataan tak terbantah bahwa Australia adalah sebuah negara maju dan menikmati posisi penting di kancah internasional, ternyata negeri ini masih harus menghadapi sisi takdirnya yang lain. Sebuah kisah tentang perjalanan sejarah yang menyakitkan di masa lampau. Sebuah cerita tentang saudara sebangsa yang masih termarginalkan.
***
Perjalanan jatuh bangun yang harus dilalui penduduk asli di suatu wilayah, dan kemudian didominasi oleh bangsa pendatang baik secara geografis ataupun politis, menyuguhkan fenomena yang berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Di beberapa wilayah, pembentukan suatu negara yang terdiri dari warga asli dan kaum pendatang menempuh jalan yang relatif mulus meski bukan berarti tanpa tantangan sama sekali, seperti di Selandia Baru (suku Maori dan pendatang Inggris) dan Singapura (etnis Melayu, Tionghoa, dan India).
Namun, beberapa negara lain harus menempuh jalan berliku sebelum menjelma menjadi suatu negara modern dengan penghargaan yang sepatutnya pada hak-hak asasi manusia. Sekadar menyebut beberapa contoh, penduduk asli Benua Amerika yang kemudian didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa serta penduduk kulit hitam Republik Afrika Selatan yang harus merasakan pahit getir masa-masa politik apartheid. Demikian juga dengan Negeri Kanguru tempat saya tengah menjejakkan kaki.
Suka atau tidak suka, bangsa Australia harus mengakui bahwa ada masa-masa kelam dalam perjalanan sejarah mereka, menjadi memori dan fakta sejarah yang sungguh pahit dikenang. Tidak bisa dimungkiri, semenjak kedatangan bangsa Eropa di tanah ini, pernah ada perlakuan represif terhadap penduduk asli---suku Aborigin dan suku asli Kepulauan Selat Torres---yang telah mendiami wilayah negeri itu sejak ribuan tahun silam. Pernah ada tindakan semena-mena pemerintah yang masih meninggalkan luka mendalam di hati penduduk asli hingga beberapa dekade lamanya.
Salah satu fakta yang mengiringi periode kelam tersebut adalah fenomena "Stolen Generations" (Generasi-generasi yang Terampas). Sejak awal abad kedua puluh dan baru berakhir pada tahun 1970, dengan dalih untuk melaksanakan program asimilasi dan perlindungan anak, pemerintah Australia bermaksud menyelenggarakan pendidikan ala Eropa untuk anak-anak penduduk asli. Namun dalam praktiknya, upaya untuk membujuk penduduk asli agar ikut serta mendukung program tersebut justru berubah menjadi pemaksaan.
Puluhan ribu anak penduduk asli direnggut paksa dari orang tua mereka pada usia sangat muda, lalu dikirimkan ke tempat-tempat penampungan khusus, jauh dari kerabat dan kampung halaman. Tak pelak, ada begitu banyak hati yang teriris dan luka yang menganga atas perlakuan tak adil ini. Di hadapan pemerintah yang berkuasa, orang tua dari anak-anak yang terampas itu tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menangisi nasib, meratapi kepergian buah hati mereka yang entah akan pulang atau tidak. Sementara di tempat-tempat penampungan, anak-anak itu tergugu pedih menahan kerinduan pada orang tua dan semakin tercerabut dari akar kultural mereka. Mereka harus tumbuh di tengah lingkungan asing tanpa dapat terhubung kembali dengan sanak famili, belum lagi aneka tindakan pelecehan dan diskriminasi yang harus menjadi santapan mereka sehari-hari.
Pada dasawarsa 1970-an, kebijakan "perampasan" anak-anak penduduk asli pun menemui pengujungnya. Satu tindakan kezaliman memang telah berakhir, namun hati yang teriris belum sepenuhnya terobati, luka yang menganga sekian lama tidak serta-merta mengering begitu saja. Kisah terampasnya sebuah generasi penduduk asli terasa sebagai sebuah perlakuan sewenang-wenang tak terperi dan menyisakan kepedihan yang masih terasa hingga berdekade kemudian. Sekian banyak penduduk asli harus melalui kehidupan mereka dengan kegetiran mendalam dan kedukaan tak berujung, yang mungkin turut berpengaruh pada ketertinggalan mereka pada berbagai aspek kehidupan di tengah-tengah masyarakat Australia yang terus bergerak maju.
***