Lihat ke Halaman Asli

Kutukan Leluhur

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kampung Rawa Lele, sebuah kampung kecil yang letaknya di tengah hamparan sawah. Letaknya yang terpisah dari kampung lain, dengan di kelilingi hamparan sawah nan hijau. Membuat kampung ini bagaikan sebuah pulau kecil.

Penduduknya yang ramah dan santun, membuat kerasan bagi siapapun yang pernah singgah di sana. Penduduk desanya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan sangat menjujung tinggi nilai nilai warisan leluhurnya. Konon di Kampung Rawa Lele, jika panen tiba maka mereka selalu menggelar sukuran, sukuran itu sebagai wujud rasa sukur terhadap tuhan dan sekali gus medo'a kan arwah para leluhur. Dengan mengirim do'a kepada arwah leluhurnya, mereka berharap, leluhur mereka akan senang, dan kemudian karena leluhur senang maka leluhur juga akan mendo'a kan yang baik kepada mereka.

Begitu juga ketika mereka akan mngadakan sebuah hajat yang besar, baik acara resepsi pernikahan maupun sunatan. Mereka pasti akan melakukan sukuran terlebih dahulu, biasanya pagi hari, seorang sesepuh desa akan memimpin para pemuda, untuk membersihkan makam keramat leluhurnya. Setelah membersihkan makam keramat itu, lalu sesepuh desa akan memanjatkan do'a untuk para arwah leluhur. Setelah prosesi itu selesai dilakukan, kemudian mereka akan menggelar tahlilan di malam harinya. Sebuah tradisi yang sangat kental dengan nuansa adat dan ke agamaan.

Selain itu di Kampung Rawa Lele juga sangat menjujung adat leluhur yang lain, yaitu sejak dulu penduduk Kampung Rawa Lele, jika melaksanakan hajat pasti hiburanya adalah hiburan yang bernuansa islami. Seperti marawis dan kasidah. Menurut pesan para leluhur Kampung Rawa Lele tidak boleh menaggap hiburan yang tidak bernuansa islami. Oleh karena itu sejak dulu, setiap warga Kampung Rawa Lele yang mengadakan hajatan tidak pernah menanggap hiburan lain.

Seiring dengan pesatnya perkembangan jaman, banyak orang yang telah melupakan semua tradisi tradisi yang telah banyak di ajarkan oleh para leluhur kita. Tradisi tradisi yang penuh nuansa keagamaan, seperti tahlilan dan mengirim do'a untuk para arwah leluhur, sudah jarang dilakukan.

Kejadian ini terjadi di kisaran bulan Agustus tahun 1997, dimana di sa'at itu adalah musim kemarau panjang telah menimpa negeri ini. Bumi terasa gersang sawah sawah kering kerontang, ranting pohon banyak yang layu dan sungai pun tak lagi mengalir. Ditengah orang kesulitan mencari sumber air. Ada sebuah keluarga, warga Kampung Rawa Lele yang hendak mengadakan hajatan besar. Ya keluarga ini bermaksud ingin menikahkan anak permpuan satu satunya itu, dengan resepsi yang mewah. Merekapun mengisi hiburan dengan memesan grup musik dangdut yang cukup terkennal. Saking asiknya dalam mempersiapkan resepsi yang di disain dengan megah itupun, akhirnya mereka luapa dengan segala tradisi leluhur. Mereka tidak lagi memanjatkan do'a untuk memohon kelancaran dan keselamatan. Ketika tiba hari H nya. Tamu yang hadir sangat banyak, tepat pukul satu siang, hiburan musik dangdut dimulai. Pembawa acara (MC) memanggil biduan cantik andalanya, para tamu bertepuk tangan, suasana sangat riuh dan meriah. Sang biduanpun segera menaiki panggung yang megah itu. Baru setengah lagu yang dia nyanyikan tiba tiba" langit yang semula cerah taksatupun awan, karena memang sedang kemarau panjang, sekejap gelap, yah mendung tebal di iringi dengan tiupan angin yang cukup kencang. Seolah tak menghiraukan dengan kejadian alam ini,musikpun terus berlanjut dengan di selingi goyangan goyangan erotis. Kemudian hujan lebat denagan di sertai petir dan badai datang. Tenda yang megah itu berterbangan di sapu angin kencang, sounsistem ( sepeker besar) yang tersusun rapi itupun tumbang berantakan. Para tamu berteriak teriak ketakutan. Akhirnya tuanrumah memutuskan untuk menghentikan hiburan dangdut dan tidak melanjutkan. Mereka akhirnya dengan di pimpin seorang ulama melakukan dzikir bersama, dan seketika itu badai pun berhenti. Setelah acara selesai, paratamupun berpamitan pulang, karena letak Kampung Rawa Lele itu di tengah tengah hamparan sawah. Pera tamu undanganpun pulang dengan melalui jalan di tengah sawah, namun alangkah kagetnya para tamu ketika mendapati jalanan dan sawah masih dalam keadaan kering kerontang, padahal baru saja terjadi hujan lebat dan badai di Kampung Rawa Lele yang jaraknya tidak jauh dari situ. Akhirnya para tamupun berpikir, mungkin ini sebuah kutukan dari para leluhur, kerena kita telah melupakan mereka. Dan kita telah banyak meninggalkan tradisi leluhur kita khususnya yang bernuansa keagamaan. Kisah ini di ceritakan oleh salah seorang teman penulis, yang kebetulan beliau adalah pimpinan dari grup musik dangdut yang di tanggap itu. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline