Lihat ke Halaman Asli

Menolak Golput

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum (pemilu) 2014 sudah ada di depan mata. Dan, sebagaimana pada pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu yang kesebelas kalinya diadakan di Indonesia ini dibayangi oleh ketakutan tingginya angka golongan putih (golput) yaitu mereka yang secara sadar (by conscience) menolak ikut pemilu. Bahkan menurut beberapa kalangan, potensi golput kemungkinan bisa mencapai posisi 50% (bandingkan dengan pemilu 1999, sekitar 9 % dan pemilu 2004 sekitar 30%). Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan banyak pihak.

Kekhawatiran ini disebabkan, salah satunya, karena ada beberapa elit-elit politik yang tersingkir dalam ajang kompetisi pemilu 2014 dan menjadikan golput sebagai “orkes sakit hati” – meminjam istilah grup musik Slank. Mereka kemudian melakukan seruan golput untuk menggalang opini masyarakat. Mungkin kita masih ingat seruan Golput dari Gus Dur pada Pemilu 2009 lalu. Setelah kekalahannya dalam konflik internal PKB yang mengakibatkannya harus tersingkir dari hiruk pikuk pemilu, Gus Dur menyeru kepada masyarakat untuk tidak memilih dalam pemilu 2009 nanti. Seruan ini tidak main-main, mengingat Gus Dur adalah seorang Kiai kharismatik yang memiliki massa yang besar di tingkat grass root. Dia juga mantan ketua NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Disamping itu, kekhawatiran terhadap tingginya angka golput pada pemilu 2014 juga timbul akibat dari akumulasi kekecawaan masyarakat terhadap partai politik yang tidak lagi berfungsi sebagai penyambung aspirasi rakyat. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu tidak tuntasnya transisi menuju demokrasi, korupsi yang kian merajalela dan menggurita disamping tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat tidak lagi menaruh harapan terhadap pemilu, toh pemilu tidak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Yang terjadi justru sebaliknya, pemilihan umum hanya melahirkan para koruptor baru sehingga agenda reformasi – untuk keluar dari krisis multi dimensi – tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bentuk apatisme politik masyarakat di ekspresikan, salah satunya, melalui golput. Dalam konteks ini, Golput juga bisa dilihat sebagai social punishment atas perilaku elit politik, khususnya politisi yang dianggap ‘busuk’.

Fenomena golput sesungguhnya bukanlah hal baru dalam panggung politikdi negeri ini. Hanya saja pertanyaannya : Begitu berbahayakah golput bagi kehidupan demokrasi sehingga para elit-elit politik menjadikan golput sebagai ekspresi sakit hati mereka untuk mengancam pemilu? Begitu bahayakah sehingga Majelis Ulama Indonesia MUI mencari landasan eskatologis bagi pelaku golput dengan memberikan label haram, yang implikasinya adalah neraka bagi mereka yang menolak ikut pemilu.

Demokrasi dan Partisipasi Politik

Setiap warga negara mempunyai kepentingan tentang siapa yang seharusnya memerintah mereka dan tentang kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Mereka, baik secara langsung ataupun tidak, ikut mempengaruhi keputusan mengenai kebijakan publik yang dibuat oleh aparatur pemerintah. Masa depan karir politik pejabat publik tergantung pada respon mereka terhadap preferensi para konstituennya.

Sehubungan dengan karakteristik ini, menurut Saiful Mujani dalam bukunya Muslim Demokrat (2007), demokrasi dapat dipandang sebagai kontrol pemerintah oleh warga. Kontrol ini menurutnya, pada tigkat tertentu tergantung pada partisipasi politik warga negara. Dalam suatu negara demokrasi partisipasi politik adalah suatu hal yang sangat penting. Bahkan, para sarjana yang mempelajari ilmu politik percaya bahwa partisipasi politik adalah inti demokrasi. Tanpa itu, demokrasi tidak dapat berjalan.

Ukuran paling umum dari partisipasi politik konvensional dalam demokrasi, menurut Mujani (2007), adalah voting. Melalui voting inilah setiap warga negara diberikan kebebasan untuk menentukan kanddidat atau partai politik mana yang akan dipilih untuk mewakili aspirasinya dalam menentukan setiap kebijakan publik. Dan melalui pemilihan umum inilah sesungguhnya setiap warga negara dapat menyalurkan aspirasinya melalui pilihan politiknya.

Dalam konteks ini golput hanya akan melemahkan demokrasi. Karena dalam sebuah negara demokrasi legitimasi pemerintah sangat tergantung dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum. Semakin kecil tingkat partisipasi politik, legitimasi pemerintah akan semakin kecil. Dan ini tentunya sangat berbahaya bagi berlangsungnya pemerintahan karena akan berkontribusi pada instabilitas demokrasi.

Dengan demikian golput bukanlah jalan keluar yang efektif untuk membuat demokrasi menjadi lebih baik. Sebaliknya, golput dalam tingkat tertentu akan menghancurkan demokrasi. Dan berbeda dengan pilihan sebagian orang untuk golput dalam pemilu pada masa orde baru karena dilandasi adanya pembatasan partai politik. Saat ini, golput bukan lagi menjadi alasan mengingat saat ini – berbeda sistem orde baru yang tertutup – kita sudah mengalami keterbukaan dalam politik. Setiap orang bebas mengekspresikan diri dalam politik, dengan mendirikan partai politik, menjadi anggota partai politik, atau setidaknya menjadi voter dalam pemilu.

Saat ini, kita telah menerima sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan. Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan lain kecuali menerima pemilu sebagai satu-satunya prosedur yang demokratis dan konstitusional dalam proses suksesi. Meskipun reformasi belum selesai, dan demokrasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Karena saat ini kita masih berada pada masa transisi menuju demokrasi dan belum sampai pada konsolidasi demokrasi. Dan transisi menuju demokrasi, dimanapun, termasuk Indonesia hampir selalu sangat sulit.

Lalu kapankah transisi demokrasi akan selesai? Jack Synder dalam bukunya from voting to violence (2000), menggunakan rumus “dua kali pergantian kekuasaan” (two turnover rule) untuk menandai konsolidasi demokrasi. Demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila sudah dua kali pindah tangan kepemimpinan melalui pemilihan umum yang “luber-jurdil”. Itu berarti tidak ada lagi jalan untuk mengkonsolidasikan demokrasi selain melakukan pemilihan umum yang “luber-jurdil”

Bukankah pada masa transisi ini kita telah melewati tiga kali pemilihan umum: 1999, 2004 dan 2009 yang – meskipun terjadi penyimpangan disana sini –relatif dapat dikatakan luber-jurdil. Pemilu 2014 nanti adalah pemilu keempat pada masa reformasi ini. Semoga saja rumusan Synder tentang “two turnover rule” akan menjadi kenyataan. Dengan demikian kita masih menaruh harapan bahwa pemilu 2014 nanti akan berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan membawa kita pada suatu keadaan demokrasi yang lebih baik, yang tidak hanya memberikan kebebasan politik bagi masyarakat, tetapi juga memberikan kesejahteraan untuk semua. Dengan mempertimbangkan hal tersebut diatas, sepertinya kita tidak punya pilihan lain kecuali “menolak golput”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline