Lihat ke Halaman Asli

Paradoks Demokrasi Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan politik kontemporer di Indonesia pasca-reformasi menyisakan sebuah persoalan tentang bagaimana demokrasi dibangun di atas puing-puing reruntuhan rejim lama. Sementara sistem yang lama yang diyakini penuh dengan korupsi, kekerasan dan ketidakadilan dihancurkan, sistem yang baru belum juga terbentuk.
Hal ini pada akhirnya menimbulkan kegamangan terhadap peran dan fungsi demokrasi bagi kesejahteraan rakyat. Setelah lebih kurang 15 tahun reformasi, jalan perubahan menuju demokrasi pasca orde baru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Reformasi yang seharusnya menjadi jalan menuju demokrasi, malah dituding telah membawa Indonesia ke jurang kehancuran. Ini ditengarai dengan makin akutnya praktek-paraktek korupsi baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif dan makin melemahnya supremasi hukum.
Kondisi seperti ini kemudian memunculkan apastisme di masyarakat. Sebagian masyarakat menimpakan semua kesalahan ini kepada demokrasi, dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap berdemokrasi karena – selama 15 tahun demokrasi – tidak ada korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan.
Antony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori strukturasi, dalam bukunya Runway World (2001), menyebut femonena seperti ini sebagai fenomena “paradoks demokrasi”. Dalam buku kecil yang awalnya disiapkan untuk BBC Reith Lecturers tahun 1999 tersebut, Giddens menyebutkan bahwa paradoks demokrasi adalah situasi ketika sebuah negara telah mengalami proses demokratisasi, yang demokrasinya telah mapan, muncul kekecewaan dan ketidak puasan terhadap demokrasi. Paradoks demokrasi ini, dalam pandangan Giddens, ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan kepada partai politik dan para elit-elitnya. Sebagian besar warga masyarakat, menurut Giddens, memandang sinis terhadap demokrasi, dan menganggap politik sebagai sesuatu hal yang korup dimana pemimpin politik lebih mementingakan dirinya sendiri ketimbang benar-benar mementingkan kepentingan warganya.

Demokrasi Elitis
Kondisi demokrasi dalam konteks Indonesia kontemporer sejatinya telah terjebak pada demokrasi elitis. Heinrich Best and John Higley, dalam buku Democratic Elitism: New Theoretical and Comparative Perspectives (2010), menyebut demokrasi elitis sebagai sebuah kondisi ketika demokrasi dikuasai oleh sekelompok kecil elit, alih-alih menyerahkan kekuasaan kepada rakyat (demos-cratos). Meskipun demokrasi pada prinsipnya adalah pemerintahan oleh rakyat, namun kelangsungan hidup demokrasi terletak pada pundak elit.
Awalnya, proses demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk benar-benar memilih wakil mereka di parlemen dan pemerintahan, namun dalam konteks demokrasi elitis, yang sering kali muncul adalah para “penyusup” yang sama sekali tidak memiliki komitmen terhadap perkembangan demokrasi. Yang terjadi kemudian, para elit-elit terpilih merendahkan keterlibatan warga ke pinggir lapangan, dan mengasingkan rakyat dari kepentingan-kepentingannya.
Demokrasi elitis telah menyebabkan kekuasaan rakyat semakin berkurang, dan partisipasi warga semakin melemah, sehingga warga masyarakat tidak ubahnya seperti berada dalam kekuasaan otoriter, ketika politik dan urusan pemerintahan diatur dan dikuasai secara penuh oleh sekelompok elit. Dalam konteks ini, kebijkan publik lebih sering mencerminkan kepentingan dan nilai elit, ketimbang memenuhi tuntunan takyat. Rakyat, yang sejatinya adalah pemegang kekuasaan, dijauhkan dari keterlibatan politik. Partisipasi politik warga hanya berkutat pada pemilihan umum, atau istilah yang lebih populer “memilih 5 menit dan menderita 5 tahun”.
Demokrasi seperti inilah yang mewarnai dengan sangat pekat kehidupan politik kita saat ini. Lihatlah betapa sering kita mendengar para pejabat-pejabat publik didaerah yang lebih sering bertindak sebagai “raja kecil” ketimbang para wakil rakyat.
Kita juga melihat bagaimana demokrasi kita telah telah terlalu jauh terjebak dalam situasi paradoksal. Ketika misalkan, seorang politisi yang dikategorikan ‘busuk’, dengan bantuan electioneer profesional, dapat menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, mereka merekayasa citra diri, dengan menampilkan pesona yang ‘menghanyutkan’, yang dapat menggerakkan massa untuk dengan sukarela mengangkatnya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara ‘politisi busuk’ yang telah menggerogoti keuangan negara untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya, dan pahlawan yang telah mengorbankan dirinya dan kelompoknya untuk bangsa dan negara.
Sebagaimana banyak diberitakan dalam media massa akhir-akhir ini, adalah terseretnya para politisi yang sedang berkuasa dalam skandal publik. Ada seorang menteri aktif yang disangkakan atas kasus korupsi, kemudian ada seorang Bupati didaerah yang tersandung dalam kasus moral. Belum lagi dugaan keterlibatan begitu banyak elit-elit partai dalam banyak kasus-kasus korupsi ataupun skandal-skandal moral. Banyak publik kemudian tercengang, betapa mereka yang terjebak dalam skandal adalah para politisi yang sebelumnya dikenal sebagai para pejuang demokrasi.
Dengan demikian, kita menyaksikan bahwa demokrasi kita telah masuk terlalu jauh kedalam kondisi yang paradoksal, sehingga, alih-alih melahirkan pemimpin ideal – sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi – demokrasi malah melahirkan para politisi yang lebih cenderung oligarkis ketimbang demokratis.
Inilah yang seharusnya menjadi pemikiran kita semua yang peduli terhadap nasib demokrasi di negeri ini. Yaitu bagaimana kedepan kita bisa menciptakan sebuah realitas politik yang bebas dari kepalsuan elit-elit yang hanya menjadikan lembaga politik sekedar persinggahan untuk memuaskan kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Satu hal yang bisa kita lakukan adalah dengan memperkuat sistem demokrasi, untuk memberikan kesempatan kepada warga masyarakat terlibat aktif dalam demokrasi. Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan pendidikan kewargaan (civic education) untuk mempersiapkan warga masyarakat, terutama kaum muda, untuk melaksanakan peran mereka sebagai warga negara. Karena – mengutip John Stuart Mill – demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang aktif, dan dengan demikian kita membutuhkan cara baru untuk berdemokrasi secara aktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline