Kekerasan Gender bukan merupakan hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia, Jika kita lihat lagi kebelakang dari tahun 45 pun isu ini sudah diperjuangkan. Hal ini terlihat dari sudah banyaknya Undang-undang semenjak itu yang membawa tentang perjuangan hak-hak yang menguntungkan setiap Gender. Ada salah satu Kebijakan yang menarik perhatian penulis yaitu Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang membahas tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Penulis merasa dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini menunjukan jika Kekerasan Gender ini sebenarnya sudah sangat meresahkan dan yang lebih ironis adalah kenyataan jika dalam lingkup keluarga pun masih banyak yang mendapatkan kekerasan gender. Dalam Undang-undang ini membahas tentang upaya peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga ini perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga yang berkualitas.
Walaupun begitu dalam pelaksanaannya kebijakan program ini pun belum bisa dikatakan program yang sukses. Karena dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukannya kesenjangan gender di beberapa program kegiatan yang ada. Hal yang paling dasar adalah dalam programnya ini masih sangat rendah memberi pengetahuan orang tua dan juga remaja mengenai kesehatan reproduksi, dalam hal pendidikan pun masih mengutamakan anak laki-laki dibandingkan perempuan, lalu berbicara tentang kegiatan kesehatan reproduksi masih rendah sekali kepedulian remaja laki-laki akan hal tersebut dan juga masih rendahnya manfaat kegiatan kesehatan reproduksi bagi remaja laki-laki. Selanjutnya lagi saat membahas tentang alat kontrasepsi, masih sedikit alat kontrasepsi yang diperuntukan untuk laki-laki, lalu jika kita membahas peran di dalam keluarga berencana di dalamnya pun masih sedikit membahas peran laki-laki atau suami di dalamnya hal ini membuat laki-laki atau suami memiliki pemahaman yang rendah dalam pengetahuan kesehatan reproduksi kondisi ini pun membuat terbatasnya tempat pelayanan KB bagi kaum laki-laki, suami pun memiliki kecenderungan untuk memikirkan masalah ketidakpuasan dalam hal hubungan suami istri dan infertilitas, suami memiliki lebih sedikit rasa bersalah tentang ketidakpuasan seksual dan ketidaksuburan; kesadaran suami tentang pencegahan penyakit menular seksual (PMS), IMS dan HIV/AIDS (HIV/AIDS); keterlibatan suami yang kurang baik dalam memelihara kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak serta terbatasnya informasi laki-laki/suami dalam memelihara kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak. Ketiga, pembuat kebijakan, pengelola dan pelaksana program tidak sepenuhnya peka gender; pengetahuan dan pemahaman pembuat kebijakan, pengelola dan praktisi KB nasional tentang konsep dan pentingnya KKG masih kurang; ketidakmampuan untuk mengakses data penelitian tentang program keluarga berencana nasional berdasarkan jenis kelamin; dan kurangnya kontrol dalam klasifikasi data karena kurangnya dukungan sistem pencatatan dan pelaporan KB nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H